Oleh : Paul Jenning
Sumber : http://dufix.wordpress.com/2009/09/15/ada-sesuatu-mengambang-di-dalam-toples/#more-89
aku repost di : http://mistik.reunion.web.id/5354/ada-sesuatu-mengambang-di-dalam-toples.htm
***
Ada sesuatu mengambang di dalam toples. Sesuatu yang aneh. Sesuatu
berwarna abu-abu seperti sepotong daging. Sesuatu yang bau. Sesuatu yang
tidak hidup tapi tidak juga mati. Aku sampai bergidik melihatnya. Aku
berharap bisa menahan diri untuk tidak melihatnya. Tapi aku tidak bisa.
Anak-anak yang lain pun melihatnya. Semua mata memandang ke arah toples
di atas meja.
“Baiklah,” kata guru baru. “Sekarang kalian tulis cerita tentang benda ini”
Terdengar suara mengeluh. Benda di dalam toples itu cuma cara lain
agar kami menulis sementara pak guru menghapus papan tulis. Pak guru
mungkin membuat benda itu dari kulit binatang atau mungkin sejenisnya.
“Aduh, aku nggak bisa mikir nih” kata Mary Jo
“Aku juga,” kata Helen Chung
Pak guru baru tersenyum. “Baiklah,” katanya. “Saya yang pertama
membuat ceritanya. Kalau itu bisa memberi kalian ide untuk menulis. Nah,
setelah itu baru kalian yang menulis.”
Ya, kedengarannya sih lebih baik.
Kami bersiap mendengar cerita pak guru. Alih-alih memerhatikan pak
guru, kami menatap pada benda di dalam toples. Benda itu mengambang,
diam, dan tidak bersuara.
Guru baru pun memulai ceritanya.
***
Trevor tahu kalau laki-laki yang memakai jas putih itu akan
mengirisnya dengan pisau. Sebuah pisau bedah. Laki-laki itu akan
membedah perutnya dan mengeluarkan usus buntunya.
“Apa yang akan dokter lakukan pada …?” tanya Trevor yang sedang berbaring di meja operasi
“Pada apa?” tanya dokter
“Usus buntuku dan amandelku dan yang lainnya setelah dokter mengeluarkannya.”
“Saya akan membakarnya,” kata si dokter. “Di dalam ruang bakar”
“Aku ingin menyimpannya,” kata Trevor. “Aku tidak ingin dokter membakarnya”
Dokter melihat perawat dari balik maskernya dan berkata sesuatu. Si perawat mengangguk.
“Baiklah kalau begitu,” kata si dokter, kemudian menyuntik lengan trevor. Ruangan pun mulai berputar.
“Bagus,” gumam Trevor, sebelum pandangannya menjadi gelap. “Karena kami harus selalu bersama – aku dan usus buntuku.”
Ketika terbangun dia melihat jahitan di perutnya, dan sebuah toples
di samping tempat tidurnya dengan sesuatu mengambang di dalamnya. Meski
perutnya terasa sakit namun dia tersenyum. Usus buntunya pasti sudah
dikeluarkan. Tapi tidak dibuang.
Dia mengambil toples itu dan memandangnya. “Kamu tidak akan pernah
meninggalkanku” dia berkata. “Tidak akan pernah. Kita harus selalu
bersama”
Ketika sampai di rumah, Trevor menaruh toples tersebut di dalam
sebuah tempat yang menurutnya aman, kemudian pergi ke kamarnya. Dia
melepas pakaiannya dan naik ke tempat tidur. Tidak berapa lama dia mulai
menutup matanya. Dia mulai terbawa mimpi ketika mendengar teriakan
keras yang berasal dari dapur.
Dia berjalan limbung menuruni tangga secepatnya dan menemukan ibunya sedang menatap ke dalam kulkas.
“Ada apa sih?” katanya
“Ibu tidak merasa menaruh usus buntu di dalam situ,” ibunya berkata. “Itu menjijikkan”
“Itu tidak menjijikkan. Itu milikku, bagian dari diriku. Seperti mata
dan otakku. Kalau ibu tidak suka usus buntuku itu sama artinya ibu
tidak sayang padaku.”
“Tapi kenapa kamu menaruhnya di dalam kulkas” ibu berkata
“Sepertinya tidak berbahaya,” kata Trevor
“Tidak akan berbahaya karena usus buntumu direndam dalam formalin. Cairan itu yang mengawetkannya.”
Trevor melihat usus buntunya di dalam toples. “Mungkin kulkas tempat
yang paling baik,” dia berkata. “Benda itu masih bagian dari diriku. Aku
tidak akan membiarkan sesuatu terjadi padanya.”
“Tapi tidak di dalam kulkas,” ibunya berkata. “Seseorang mungkin mengira itu manisan dan boleh jadi nanti dimakannya.”
Trevor mengangguk. “Ya, ibu benar,” dia berkata. “Kita tidak bisa
menyimpannya dalam kulkas. Tapi ibu yakin itu tidak berbahaya, kan?”
“Ibu yakin,” kata ibunya
“Baguslah,” kata Trevor. “Aku akan membawanya ke sekolah. Aku dan usus buntuku. Kami akan selalu bersama.”
Ibunya hanya menarik nafas panjang dan menganggukkan kepalanya. “Dasar anak-anak,” dia berkata dalam hati.
Kemudian, usus buntunya dibawa ke sekolah. Trevor menaruh toples itu
di atas mejanya. Teman-temannya berhenti mengobrol. Tiap mata melihat ke
arah toples itu. Beberapa anak menahan nafas. Tapi sebagian besar
menatapnya. Mereka terus menatap, menatap dan menatap. Mereka tidak bisa
mengalihkan padangan mereka.
Di dalam toples ada sesuatu yang mengambang. Sesuatu yang aneh.
Sesuatu berwarna abu-abu seperti sepotong daging. Sesuatu yang tidak
hidup tapi tidak juga mati.
Tiap orang begidik, kecuali Trevor.
“Ini usus buntuku,” kata Trevor. “Kemanapun aku pergi, dia bersamaku.”
Anak-anak terkagum. Tidak ada yang pernah melihat usus buntu sebelumnya.
“Kamu sebaiknya menaruhnya di mejaku,” kata pak Birtle. “Tidak ada
yang bisa berhenti melihatnya. Dan kita tidak akan bisa belajar kalau
caranya demikian.”
Sebenarnya pak Britle-lah yang tidak bisa berhenti melihat isi
toples. Dia seperti terhipnotis. “Kamu yakin ini benar-benar usus
buntu?” kata pak Britle pada Trevor. “Saya berani sumpah kalau benda itu
hidup. Saya pikir saya melihatnya bergerak.”
Semua mata melihat usus buntu itu … benda itu bergerak berputar di dalam cairan kuning.
Pak Birtle berkata pada Trevor. “Coba kamu pergi ke perpustakaan dan
ambil buku anatomi,” katanya. “Saya mau melihat seperti apa bentuk usus
buntu itu.”
Trevor sebenarnya tidak ingin pergi. Dia tidak ingin meninggalkan
usus buntunya. Namun ia pun pergi juga. Dan ketika dia melangkah
perlahan menuruni tangga, tangannya mulai terasa berkeringat. Jantungnya
berdegup kencang. Kepalanya sakit. Dia ingin balik ke kelas, mengambil
toplesnya dan mendekatkan ke wajahnya.
“Kita harus selalu bersama,” dia berkata.
Dia berjalan cepat ke perpustakaan dan mulai mencari buku anatomi.
Di dalam kelas, pak Birtle menarik nafas panjang. Usus buntu itu
benar-benar bergerak. Seperti ikan emas yang sedang marah, berputar di
dalam toples.
Di perpustakaan, Trevor juga berputar-putar mengelilingi lemari
seperti ikan emas yang sedang marah. Akhirnya dia menemukan apa yang dia
cari. Dia mengambil buku anatomi dan bergegas kembali ke kelas.
Pak Birtle melihatnya ketika Trevor masuk kelas. “Dia marah,” kata pak Birtle. “Usus buntu itu berenang berputar-putar.”
Trevor buru-buru mendekat ke toples dan melihat kedalamnya. Usus
buntu itu hanya mengambang. Tidak bergerak. Wajah pak Britle berubah
keheranan. “Tadi begerak,” katanya. “Benda itu berhenti waktu kamu
kembali. Coba kamu keluar kelas dan berdiri di sana, Trevor.”
“Aku tidak mau,” kata Trevor. “Aku tidak mau meninggalkannya. Kami harus selalu bersama.”
Pak Birtle mengencangkan bibirnya. “Benda itu juga tidak mau kau
meninggalkannya,” katanya. “Pergi dan berdiri di luar pintu – hanya
sebentar.”
Trevor melakukannya. Dia meninggalkan kelas dan melihat ke dalam
kelas melalui jendela. Tangannya berkeringat. Kepalanya sakit.
Jantungnya terasa berat memompa. Dia menatap ke dalam kelas dan menarik
nafas panjang. Usus buntunya bergerak berputar di dalam toples. Benda
itu melompat-lompat seperti seekor ikan trout di jaring nelayan.
Murid-murid melangkah mundur. Mereka ketakutan. Sesuatu yang aneh terjadi.
Trevor bergegas masuk dan mengambil toplesnya. Usus buntunya menjadi lebih tenang dan mengambang di dalam formalin.
“Kita coba lagi,” kata pak Birtle. “Trevor, saya ingin kamu pergi
keluar, ke seberang jalan dan pergi ke toko. Hitung sampai dua puluh dan
balik lagi.”
Trevor manaruh toplesnya dan berjalan perlahan keluar pintu. Dia
gemetaran ketika berjalan menyeberang jalan. Semakin jauh dia berjalan
semakin sakit kepalanya. Dia meremas jari tangannya. Lalu menaruh
tangannya di atas dadanya. Dengan langkah gemetar dia berjalan ke toko
dan menutup pintu di belakangnya.
Suara gemuruh datang dari dalam sekolah. Tiga puluh orang teriak bersamaan.
Trevor berlari balik secepat kilat, bahkan dia tidak merasa kakinya
menyentuh tanah. Dia seperti sedang terbang saat kembali ke sekolah.
“Kita harus selalu bersama,” teriaknya
Dia turun di dalam kelas yang sepi. Tapi kelas itu tidak kosong.
Semuanya berdiri menghadap ke dinding. Mereka melihat toples tersebut
dengan pandangan ketakutan. Bahkan pak Birtle.
Usus buntu itu melompat-lompat di dalam toples, menggedor-gedor
tutupnya. Suaranya seperti peluru yang keluar dari senapan mesin. Tutup
toples bergetar hebat.
Trevor bergegas mengambil toplesnya. Usus buntunya pun berubah
tenang. Benda itu bergerak berputar dalam toples. Trevor tersenyum.
Senang.
Pak Birtle melangkah ke depan kelas. “Aku harus menyita benda itu,
Trevor,” katanya, mengambil toples itu dari tangannya. “Sesuatu yang
aneh terjadi. Ini bisa berbahaya.”
“Baiklah,” kata Trevor “jika itu yang bapak mau” dia berbalik dan
berjalan menuju pintu. Kelas pun mulai berteriak panik ketika sekali
lagi si usus buntu menggedor-gedor tutup toples.
“Kembali,” teriak pak Birtle. Dia mengembalikan toplesnya pada Trevor
“Terima kasih,” kata Trevor. Si usus buntu bergerak senang. “Kita harus selalu bersama,” kata Trevor.
Sesaat kemudian bel berbunyi dan kelas pun bubar untuk makan siang.
“Kamu tunggulah di sini, Trevor,” kata pak Birtle. “Aku akan memanggil
kepala sekolah.”
Trevor melihat usus buntunya. “Mereka akan mengambilmu,” dia berkata. “Mereka tidak ingin kita bersama.”
Si usus buntu bergerak naik turun. Sepertinya setuju dengan ucapan Trevor.
Kita harus keluar dari sini,” kata Trevor. “Kita harus selalu
bersama.” Dia menggenggam erat toplesnya dan menyelinap turun tangga.
Dia berjingkak sepanjang koridor dan pergi keluar. Dia bebas.
Tiba-tiba sebuah tangan menahan pundaknya. Itu adalah pak Birtle dan kepala sekolah.
“Aku akan mengambil benda itu,” kata kepala sekolah, merebut toples
itu dari tangan Trevor. Si usus buntu mulai menggedor-gedor tutup
toples. Dia bergerak cepat membuat isi toples menjadi keruh.
“Buang benda itu dari sini,” kata pak Birtle. “Benda itu bisa menyerang anak-anak”
“Tidak,” teriak Trevor. “Kembalikan padaku. Kembalikan”
Pak Birtle menahan tangan Trevor sekuatnya. Kepala sekolah berlari
membawa toples yang bergetar hebat. Dia melempar toples itu ke kursi
belakang mobilnya dan ngebut meninggalkan gerbang sekolah.
“Kembali, kembali,” teriak Trevor. Tapi sia-sia. Usus buntunya sudah menghilang.
Tangan kepala sekolah gemetaran di atas kemudi. Dia melihat ke
belakang dan mencoba membuka paksa tutup toples. Tidak lama lagi tutup
itu akan terbuka. Lalu apa yang terjadi kemudian? Seluruhnya akan
meledak seperti sebuah bom. Dia menginjak pedal rem, lalu mengambil
toples itu dan menaruhnya ke trotoar.
Pak kepala sekolah melompat dari mobilnya dan turun ke jalan. Dia
berhanti dan melihat ke belakang. Toples itu meledak. Usus buntu itu
melompat ke udara, berputar-putar seperti burung mabuk. Kemudian jatuh
dan mendarat ke dalam selokan.
Usus buntu itu pun terbebas.
Kembali ke sekolah, Trevor mencoba melepaskan diri dari pak Birtle.
Tapi dia terlalu kuat. Meski Trevor meronta seperti hewan liar tapi
sia-sia. Dia tidak bisa lepas dari cengkraman pak Birtle.
Tiba-tiba tubuhnya ambruk. Seperti orang mati. Dia jatuh seperti
boneka di tangan pak Birtle. Pak Birtle menaruh tubuhnya di lantai,
menempelkan telinganya ke dada Trevor, lalu bergegas menuju lemari
mengambil handuk.
Trevor melompat dan berlari keluar sekolah. Tipuannya berhasil. Dia bebas mencari usus buntunya.
Dan usus buntunya pun bebas mencarinya. Benda itu menggeliat di sepanjang trotoar seperti seekor tikus basah dan bau.
Tidak ada satu pun orang yang terlihat di jalanan. Hanya seekor
kucing. Kucing berwarna oranye yang besar. Kucing itu melihat usus buntu
itu. Dengan cepat kucing itu melompat dan mendarat tepat di depan usus
buntu. Si usus buntu berhenti. Si kucing membungkuk. Si usus buntu
bergerak-gerak. Si kucing medekatinya dan menyentuhnya. Sepertinya cakar
si kucing mengenai si usus buntu. Si kucing mengeluarkan suara
mengerang tiga kali, “Meong, meong, meong.” Lalu menghilang ke dalam
usus buntu, tersedot seperti kain lap ke dalam vacum cleaner dan
menghilang begitu saja seperti agar-agar ke dalam sedotan. Si usus buntu
berputar-putar sebentar dan kemudian melanjutkan perjalanannya.
Ukurannya tidak bertambah besar. Tidak juga menjadi lebih kecil. Tapi
dia sudah makan seekor kucing. “Meong, meong, meong.” Si usus buntu
meniru suara si kucing. “Meong, meong, meong.”
Si usus buntu berputar di pojok jalan dan berhenti lagi. Seekor
anjing menggonggong dan bergerak memutari benda abu-abu itu yang
terlihat gemetaran. Tiba-tiba si usus buntu bergerak dan melompat
secepat kilat masuk ke telinga si anjing. Si anjing menggonggong
kesakitan. Dia mengoyang-goyang telinganya mencoba mengeluarkan si usus
buntu. Tapi terlambat. “Guk, guk, guk,” si usus buntu menghisapnya.
Anjing itu hilang. Dan si usus buntu masih terlihat kecil, abu-abu dan
bau, menggeliat di jalan. “Guk, guk, guk,” bunyi si usus buntu, meniru
mangsanya berulang-ulang. “Guk, guk, guk.” Dia sepertinya senang dengan
suara anjing itu.
Di seberang jalan si benda abu-abu berlendir bergerak di bawah sebuah
mobil dan menuruni saluran pembuangan. Sepertinya dia tahu kemana
arahnya. Dia tahu kemana dia pergi. Dia sedang mengarah kepada Trevor.
Sementara itu Trevor terengah-engah, melihat ke belakangnya. Tidak
ada yang mengikutinya. Dia sudah melarikan diri. Tapi dia kehabisan
nafas. Kepalanya sakit. Tangannya penuh keringat. Tapi dia merasa
sedikit lebih baik. Bagaimanapun juga dia tahu usus buntunya sedang
bergerak ke arahnya. Dia duduk di pinggir selokan dan menunggu di
sebelah saluran pembuangan.
“Skuik, skuik, skuik” Suara kecil. Usus buntu keluar dari saluran
pembuangan, masih meniru suara santapannya. Santapan yang didapt di
dalam saluran. Seekor tikus besar yang penasaran.
Trevor tersenyum saat melihat usus buntunya. “Kita harus bersama,”
dia berkata. Usus buntu itu kelihatan setuju padanya. Dia menggeliat di
kaki Trevor, melompat-lompat sampai ke lehernya dan terus naik ke
dagunya. Trevor membuka mulutnya lebar-lebar. Dan usus buntunya merayap
masuk.
Trevor menelannya. “Kita harus selalu bersama,” dia berkata. Dan mereka pun bersatu kembali.
***
“Dan itulah akhir ceritanya,” kata guru baru.
Semua anak-anak di dalam kelas menatap toples di atas meja. Benda abu-abu itu begerak perlahan di dalam air berwarna kuning.
“Apa yang kalian pikirkan?” tanya guru baru.
Anak-anak merasa mual. Ceritanya sih bagus tapi tidak menyenangkan.
Semuanya bertepuk tangan perlahan bersamaan dengan bunyi bel. Kemudian,
semuanya pergi keluar untuk makan siang tapi tidak ada yang berani
mendekat pada benda abu-abu mengerikan di dalam toples.
Aku menunggu sampai mereka keluar semuanya. Aku ingin bicara pada guru baru mengenai ceritanya.
“Ada satu yang salah dalam cerita itu,” kataku
“Ya?” kata guru baru
“Kalau usus buntu itu ditelan Trevor,” kataku, “bagaimana benda itu bisa berada di dalam toles di meja bapak?”
Guru baru menggaruk dagunya. “Kamu mungkin benar, “dia berkata. “Ini
sedikit kelemahan dari cerita itu. Tapi aku tidak akan mengatakan apa
yang sebenarnya terjadi.”
“Kenapa tidak?” tanyaku
“Terlalu mengerikan,” katanya
“Bapak bisa ceritakan padaku,” kataku
“Ma’af,” katanya. “Tapi bagaimanapun juga kamu tidak akan percaya padaku.”
“Ini-kan cuma cerita,” kataku. “Iya, kan?”
“Iya, kan?” kata pak Birtle. Dia tersenyum padaku dan pergi makan siang.
Aku melihat benda di dalam botol. Benda itu memang aneh. Aku berpikir
benda apa itu. Aku mengambil toplesnya. Benda di dalamnya perlahan
bergerak. Benda itu seperti sepotong kulit yang sudah membusuk.
Aku memutuskan membuka tutupnya dan berharap keberuntungan. Tutupnya
rapat. Aku tidak bisa memutarnya. Aku membuka laci meja pak Birtle dan
menemukan kain lap. Aku putar tutup toples itu dengan kain lap dan
tutupnya mulai bergerak. Aku memutarnya sampai terbuka.
Aku melihat ke dalam toples. Sepotong daging berlendir yang terdiam.
Tidak pada awalnya.
Lalu, dengan perlahan dan mengerikan, benda itu keluar dari toples.
Benda itu mengeluarkan suara sama seperti santapan teakhirnya.
“Kita harus selalu bersama,” benda itu berkata. “Kita harus selalu bersama”
***