=======
Di kantor polisi, seorang Ibu berpenampilan menarik melaporkan anak laki-lakinya yang telah menghilang sejak dua hari lalu. Tidak ada jejak dan tidak ada kabar berita. Semua temannya—sebenarnya si anak tidak mempunyai banyak teman karena sifatnya yang penyendiri dan cenderung menutup diri, telah dihubungi tapi hasilnya nihil dan tidak ada satu pun teman kampusnya yang mengetahui tentang keberadaannya.
Kecuali di pagi hari ketika anaknya
tersebut menghilang, seorang pembantunya menemukan sebuah digital voice
recorder di halaman depan rumahnya, tepat di bawah jendela kamar si
anak. Kata si Ibu, anaknya itu mempunyai hobi menulis. Ia suka menuliskan
tentang apa saja yang ditemuinya dan hal-hal yang disukainya di blog
pribadinya. Jadi ia meminta hadiah alat perekam suara itu pada Ayahnya yang
seorang pelaut dan telah berpisah dengan mereka sebagai hadiah ulang tahunnya
yang kedelapanbelas dua bulan lalu, supaya ia tidak lupa merekam dan mencatat
ide apa saja yang melintas di kepalanya. Ayahnya mengirimkannya seminggu
setelah hari ulang tahunnya disertai kartu ucapan selamat bergambar kota
London.
Si Ibu berwajah sendu kini tersedu.
Usianya telah memasuki kepala empat, ia seorang wanita karir yang sukses dan
kini ia merasa dunianya runtuh. Apa gunanya semua yang telah ia capai selama
ini apabila ia harus kehilangan anak satu-satunya, orang yang akan menjadi
penerus keluarganya dan penerus bisnisnya. Orang yang membuatnya bersimbah peluh
berjuang sampai sejauh ini. Dengan tangan gemetar dan suara parau ia
menyerahkanrecorder itu pada petugas piket yang menerima
laporannya. Recorder itu satu-satunya yang menyimpan petunjuk
berharga terkait menghilangnya anak semata wayangnya.
Si petugas memeriksa recorder itu
dengan seksama. Sekilas tidak ada yang berbeda. Masih mulus seperti baru, bukti
bahwa si empunya merawatnya dengan sangat baik. Kemudian dengan penasaran dan
penuh minat petugas polisi itu pun menekan tombol ‘play’. Lalu
terdengarlah sebuah suara berbicara, suara seorang laki-laki muda yang beranjak
dewasa:
“Tes, tes! Umm… baiklah, berikut ini
laporan langsung dari lapangan,” katanya memulai. “Minggu, 27 Maret. Jam 10.13.
Kami baru tiba di lokasi. Cuaca cerah. Hari yang indah untuk bekerja.
Kulayangkan pandang pada padang hijau kekuning-kuningan yang membentang di
sekitarku. Tempat ini begitu luas dengan hutan kecil dan rawa di belakang sana.
Hamparan ilalang dimana-mana.
“Ini tempat yang sempurna, aku berbisik dalam hati…”
“Anak Ibu bekerja part-time di
hari Minggu?” tanya si petugas polisi menyela. Si Ibu menjelaskan kalau anaknya
adalah seorang mahasiswa tingkat satu, dan ia sama sekali tak pernah kekurangan
masalah keuangan.
Si petugas melanjutkan
mendengarkan file rekaman suara berikutnya.
“Jam 11. 25.
“Pekerjaan kami baru selesai sekitar dua
puluh persennya. Lamat-lamat, dari salah satu arah yang menuju jalan kecil ke
pemukiman penduduk di belakangku terdengar sebuah suara. Lantang, suaranya
berbaur dengan suara gemerisik angin yang mencumbui pucuk-pucuk ilalang.
“‘Lihat, itu dia Si Pemanggil Alien!’
tunjuk salah seorang dari mereka, pada seorang pemuda gondrong berkaos putih
dan bercelana jins yang sedang melangkah dengan kaku dan melakukan gerakan aneh
di tengah lapangan—aku.
“‘Itu dia! Yang sedang bekerja merobohkan alang-alang,’ timpalnya lagi.
“‘Itu dia! Yang sedang bekerja merobohkan alang-alang,’ timpalnya lagi.
“Aku menoleh. Sebagian anak-anak kampung
yang meledek kami sinting tadi kini datang berombongan dengan Ayah mereka yang
sedang libur kerja, ataupun orang-orang dewasa yang mereka kenal yang bisa
mereka ajak kemari.
“Di sini, di tanah lapang seluas 6.000
meter persegi peninggalan kakekku yang sebagian besar ditumbuhi alang-alang
liar setinggi pinggang pria dewasa dan menjadi tempat bermain favorit anak-anak
itu, aku tengah membuat crop circle-ku sendiri. Ya, aku tidak
mengada-ada dan kamu tidak salah dengar. Aku benar-benar sedang membuat
lingkaran tanaman dengan pola unik yang mengandung pesan tertentu dan selalu
menarik perhatian khalayak ramai di seluruh penjuru dunia itu.
“Untuk mengerjakan proyekku ini aku
tidak bekerja sendirian dan dibantu oleh lima orang sukarelawan. Mereka semua
adalah orang-orang yang berhasil kurangkum dari forum internet dan merupakan
pembaca setia blog-ku. Mereka bekerja tanpa pamrih menyumbangkan tenaga dan
waktu mereka untuk terlibat dalam proyek yang kukerjakan. Dan untuk dicatat,
aku tidak meminta, melainkan mereka sendirilah yang menawarkan diri padaku
untuk mendukung visi dan misiku.
“Karena, menurut mereka, aku akan
melakukan sesuatu yang besar. Sesuatu yang tidak akan pernah dipikirkan atau
dibayangkan oleh orang-orang normal. Yah, bisa dikatakan itu sebenarnya suatu
pujian. Dan aku merasa terharu, benar-benar terharu. Aku sangat berterima kasih
pada mereka.
“Tapi aku tidak mau terlalu sentimentil.
Sementara aku menganggapnya hanya menuruti apa yang menjadi hasratku.
“Banyak orang meyakini
kalau crop
circle, atau dalam bahasaku; bentuk
geometris yang memiliki nilai
artistik tinggi dengan pola rumit nan teratur yang sering dijumpai
di ladang-ladang pertanian itu, erat kaitannya dengan kemunculan makhluk asing.
Ada pula yang tidak sungkan menyebutnya sebagai jejak UFO. Namun tidak sedikit
pula yang terang-terangan menyangkal kalau itu hanyalah fenomena alam, atau
buatan manusia kurang kerjaan yang gemar mencari sensasi.
“Seperti yang kulakukan sekarang ini?
Tidak, tidak, jangan secepat itu dulu mengambil keputusan, Kawan! Alasanku
melakukan hal ini akan kujelaskan nanti.
“Kamu tahu, Kawan, menurut pandanganku,
sejak awal kemunculannya dalam sebuah pamflet terbitan Inggris tahun
1678 yang dikenal dengan sebutan The Mowing Devil[1], crop
circle merupakan salah satu misteri yang paling menarik di zaman
modern ini. Aku meyakini, mungkin ini adalah satu-satunya misteri yang sejalan
dengan seni yang indah.
“Masuk ke intinya, ah, aku bisa
membayangkan perasaan yang membuncah dalam hatimu saat ini; kamu mungkin
penasaran dan tidak tahan ingin bertanya, ‘Crop circle buatan
iblis, alien…?’
“Oke, mari kita luruskan sejenak, memang
benar ada banyak crop circlepalsu ditemui di seluruh dunia. Plus
pengakuan orang-orang yang mengklaim bertanggung jawab melakukannya. Hei,
mereka juga meng-upload video cara pembuatan crop circle mereka
di Youtube! Namun itu tidak membuktikan semuanya. Pada beberapa kasus crop
circle murni yang ditemui di luar sana, bahkan para ilmuan sekaliber
insinyur-insinyur MIT[2] pun meragukan kalau hal itu merupakan buatan
manusia.
“Tidak usah jauh-jauh ke luar negeri,
Kawan, toh di dalam negeri kita sendiri juga ada. Contohnya saja pada waktu
kejadian crop circle di Sleman, Yogyakarta, yang menghebohkan
media massa dan internet beberapa waktu lalu. Bahkan tim peneliti dari salah
satu universitas ternama di Indonesia harus mengakui kalau crop circle itu
adalah bukan buatan manusia[3]. Sekali lagi perlu aku tegaskan dan garisbawahi,
bukan.
“Oh ya, berdasarkan hasil riset dan
pencarian yang kulakukan di internet, inilah fakta-fakta yang kutemukan
tentang crop circle murni, seperti yang dijumpai pada kasus di
atas:
1.
Batang tanaman padi yang rebah mengalami
tiga bengkokan, dan pada bengkokan tersebut agak gosong.
2. Tanah di sekitar padi yang rebah memiliki kadar
Nitrogen lebih banyak hingga 400% dibandingkan dengan tanah di sekitar padi
yang lain (yang tidak rebah).
3. Bulir-bulir padi (pada tanaman padi yang rebah) dari
luar terlihat utuh. Namun setelah diteliti lebih lanjut, ternyata bagian dalam
atau isi dari bulir padi tersebut hancur.
4. Pada padi yang rebah, dari luar hanya terlihat bengkok
biasa, namun bagian dalamnya mengalami kerusakan struktur.
“‘Jadi benar, pada kasus crop circle
murni, merupakan buatan makhluk asing?’
“Tunggu dulu, tunggu dulu, Kawan!
Biarkan aku menjelaskannya untukmu (dan tolong jangan memotong dulu!). Hmm—yah,
aku tidak tahu pasti mengenai hal itu… Aku sedang mengusahakannya sekarang.
Maksudku, aku akan membuktikannya untukmu. Lihat saja nanti.
“Jadi, berdasarkan
berbagai referensi dan data yang kuperoleh selama ini, aku percaya bahwa selain terdapat crop circle yang merupakan buatan
manusia, juga terdapat crop circle yang merupakan buatan
sesuatu—apapun itu—yang memiliki tingkat intelegensi tinggi. Suatu makhluk
bukan golongan manusia yang cerdas dan menguasai teknologi tinggi yang dapat
menciptakan jejak memukau dengan pola geometris rumit hanya dalam waktu
semalam.
“Karena itulah (oke, pada bagian ini
kamu boleh mengatakan aku gila, hanya sekali ini saja!) aku begitu
ingin bertemu dengan makhluk asing ini. Aku ingin mengenal mereka dan
mempelajari kebudayaan mereka, serta mengetahui tentang teknologi mereka. Agak
susah untuk menjelaskannya, ditambah lagi sensasi yang kurasakan saat ini—hufft… tapi,
katakanlah, aku sangat mengagumi mereka!
“Aku mengagumi karya
mereka di atas ladang-ladang penduduk bumi, aku menyukai misteri-misteri yang menyelimuti
mereka, yang kadang berada jauh di luar batas nalar manusia. Betapa hasrat
keingintahuanku yang begitu kuat dalam diriku terhadap mereka telah berubah
menjadi suatu obsesi yang bahkan tak mampu dibendung oleh akal sehatku
sendiri. Ini seperti…—hei, apa kamu pernah punya seorang teman Japanese-freak,
seseorang yang begitu tergila-gila terhadap sesuatu yang berbau Jepang? Aku
pernah, saat di SMA dulu. Temanku itu begitu menggilai manga dan anime[4],
suka ber-cosplay[5]-ria, bersikeras belajar Bahasa Jepang, nge-fans sama
aktris Jepang yang namanya Ayase Hiruka, dan sekarang mengambil kuliah jurusan
Sastra-Jepang. Impiannya adalah agar bisa pergi ke Jepang, paling tidak sekali
seumur hidupnya. Jadi, kurang lebih seperti itulah yang kurasakan saat ini.
“Nah, sekarang aku tidak akan malu-malu,
atau ragu-ragu lagi, untuk mengatakannya padamu: a-ku sa-ngat i-ngin
me-ngun-jungi pla-net a-li-en…” Suara si laki-laki dalam recorder seperti
berbisik dengan penuh penekanan pada saat mengucapkan kalimat terakhir
tersebut. Si petugas polisi segera membayangkan di dalam
kepalanya seperti ada seseorang yang menggosok-gosokkan kedua tangannya
karena kegirangan atas sesuatu.
Lalu suara itu kembali melanjutkan:
“Ah, ni pasti akan menjadi petualangan
yang sangat menyenangkan... Tentu saja! Dan untuk menyampaikan niatku itu, aku
akan melakukannya dengan membuat crop circle-ku sendiri. Bukan
sembarang crop circle, tentunya. Melainkan sebuah crop
circle yang berisi pesan dan penjelasan di dalamnya tentang betapa aku
ingin bertemu mereka. Katakanlah itu seperti berupa suatu presentasi di
dalamnya.
“Aku ingin memberi tahu mereka, para
makhluk asing di luar sana, lewat pesan di padang ilalang ini agar mereka bisa
membawaku serta bersama mereka saat mereka kebetulan sedang melintasi bumi. Aku
yakin—yah, aku punya saja keyakinan semacam itu, tidak tahu dari mana
asalnya—bahwa mereka sering melintasi orbit bumi di malam hari. Diam-diam, di
antara kesunyian dan kegelapan. Oleh karena itu, ah—heheheheh...!—aku tidak
sabar untuk mengatakan padamu bagian yang paling menariknya sekarang: aku
berniat menawarkan diri untuk menjadi abductee[6] dan ingin
diculik oleh mereka…
“Ya, ya, ya, tertawalah!
“Tidak, jangan hiraukan perasaanku.
“Puaskan kepongahanmu dengan merendahkan
ketidakwarasan jalan pikiranku. Bilang aku sinting, bilang aku sakit. Tapi aku
tidak gila! Aku meyakinkanmu, tidak. Malah, aku di sini akan menjadi donatur
bagimu dan para penduduk bumi lainnya untuk membuktikan keberadaan mereka. Terima
kasih.
“Kita belum sampai ke bagian itu, Kawan.
Sebagaimana layaknya sebuah cerita petualangan, bagian yang paling menentukan
segalanya selalu ditempatkan di akhir. Jadi mari kita teruskan saja ceritaku…
“Akhirnya, setelah kupikirkan hal ini
berulang kali dan kuputuskan, berbekal pengetahuan cara membuat crop
circle yang kulihat di Youtube, aku mulai membuat skala dan pola crop
circle-ku sendiri di atas kertas. Itu tidak terlalu sulit kok kelihatannya.
Tapi setidaknya itu butuh tiga hari tiga malam yang menyiksa bagiku memikirkan
serta menentukan sebuah pola geometris ideal yang akan kubuat. Karena bukan
hanya bentuknya harus indah dan memiliki nilai seni tinggi, namun juga harus
dapat menyampaikan pesan yang ingin kusampaikan. Ini sungguh menyita pikiran
dan energiku. Hampir saja aku menyerah dan melemparkan keranjang berisi
gumpalan coretan-coretan sketsa itu di sudut kamarku yang menggunung keluar
jendela saking stresnya, tapi kuurungkan jauh-jauh niat itu ketika pikiran itu
melintas.
“Lalu suatu pagi, setelah tidur yang
terasa bagai sekejap dan kepala terasa berat ketika bangun, tiba-tiba saja
sebuah pikiran melintas dalam benakku. Bisa dikatakan sebuah inpirasi, ide,
atau ilham, atau cetak biru tentang polacrop circle yang akan
kubuat menghinggapi sel otakku begitu saja. Dan tidak hanya sepatah dua patah
pesan yang akan dapat dimuat disitu. Melainkan seluruh alinea per alinea serta
paragraf per pargaraf pesan yang ingin kusampaikan dapat terjelaskan di sana!
Menakjubkan, bukan? Lama aku tercenung dalam diam. Dan menyadari betapa
kekuatan hasrat dapat mewujudkan segalanya.
“Selama seminggu setelah hari itu aku
pun mulai merencanakan semuanya dan menuliskan pesan-pesan apa saja yang hendak
kusampaikan di dalamcrop circle-ku kelak. Ini tidak terlalu sulit.
Karena aku hanya perlu menumpahkan gagasan serta apa yang menjadi hasrat
terliarku selama ini di atas kertas. Kemudian aku pun menyiapkan gambar pola
yang telah kutentukan dan mencetaknya, mengukur, menghitung skala, termasuk
juga meninjau lokasi yang akan menjadi lokasi pembuatannya. Semuanya
berhasil keluar dengan sukses dari kepalaku.
“Tak lupa, aku lantas memposting
rencanaku ini di blog. Beragam komentar serta tudingan kudapatkan hanya
beberapa jam berselang, tapi itu sama sekali tidak mengecilkan niatku. Malah,
menjadikanku semakin tertantang untuk melakukannya. Tekadku sudah bulat.
“Oke, aku tidak bermaksud mendramatisir.
Tidak semua komentar yang masuk bernada merendahkan kok, ada juga yang hanya
sekedar geleng-geleng kepala menanggapi niatku, atau mendukungku. Buktinya, aku
patut bersyukur, toh, lewat posting tersebutlah aku mendapatkan hadiah tak
terduga, yakni lima orang tenaga sukarelawan yang bersedia membantuku.
“Kawan, bayangkan betapa girangnya
hatiku saat itu! Membayangkan semua rencana yang telah kususun dalam
imajinasiku selama ini akan segera berbuah menjadi kenyataan…
“Kemudian, akhirnya
hari ini tiba. Bersama tim yang tidak pernah kubayangkan akan ada untuk membantuku, dengan
menggunakan peralatan sederhana berupa sebatang tongkat sebagai tiang pancang,
bilah papan, tali, serta segulungan meteran, kami mulai mengerjakan crop
circle-ku ke bidang yang telah kutentukan. Dalam hal ini, seperti yang
telah kupikirkan sejak berhari-hari lalu, bidang yang kupilih adalah tanah warisan
kakekku, dimana terdapat hamparan ilalang yang cukup luas. Sebenarnya hal ini
juga dikarenakan di sekitar kota tempat tinggalku tidak terdapat areal
persawahan—dan kalaupun ada nih, tentunya aku tidak mau dicap kriminal dengan
merusak ladang milik orang lain. Jadi, perkenankanlah aku memanfaatkan apa yang
telah disediakan alam untukku.
“Toh, menurut hematku, karakteristik
bentuk tanaman serta lapangan terbuka di sekitarnya tidak jauh berbeda sebagai
tempat ideal bermukimnya sebuahcrop circle.
“Di langit matahari tinggi menggantung,
hampir sejajar di atas kepala kami. Teriknya menyorot tanpa ampun. Dengan
konsentrasi tingkat tinggi dan peluh membanjiri sekujur tubuh, kami bekerja
sepenuh hati mengukir pola di atas padang ilalang. Sebuah tiang pancang
ditancapkan di tengahnya sebagai titik poros, lalu kami mulai menarik meteran
sesuai diameter yang kuinginkan. Kami bekerja bahu membahu membuat garis,
mereka bentuk geometris, serta merebahkan bagian ilalang yang telah ditandai
dengan bilah papan yang digantungkan dengan tali ke leher. Semua itu kami
lakukan dengan penuh minat dan antusiasme yang menyala-nyala. Ini sungguh
melelahkan, namun sekaligus menyenangkan.
“Tenaga kami boleh saja perlahan-lahan
habis, merunduk jatuh seperti batang-batang ilalang yang bertebaran patah dalam
formasi teratur, tapi tidak dengan semangat kami. Aku akan—tidak, tidak,
tepatnya, kami harus menyelesaikan apa yang telah kami mulai!
“Apa yang kami lakukan di siang hari
bolong ini tentu saja menarik perhatian anak-anak kampung dekil, bertelanjang
kaki dan bertelanjang dada, dengan rambut pirang terbakar matahari, serta bau
keringat menyengat, yang tengah bermain sepak bola di lapangan kecil di dekat
sebuah pohon jambu biji yang rindang. Berpagar rimbun pohon pisang, tak jauh
dari tempat kami berada. Namun masih dalam lingkup kawasan tanah kakekku di
ujung pemukiman penduduk.
“Mereka semua memandangku dengan dahi
berkerut saat kukatakan aku sedang membuat crop circle, sebuah
jejak UFO seperti yang sering mereka lihat di berita TV beberapa waktu lalu.
Ketika itu salah seorang dari mereka hendak mengambil bola plastik yang
melayang ke arah kami, dan terheran-heran melihat tingkah lakuku serta
teman-temanku yang tengah merebahkan ilalang di hadapan kami dengan sebilah
papan yang diikat tali dan diinjak-injakkan ke tanah. Bocah itu bertanya penuh
rasa ingin tahu. Tapi sebagai gantinya aku malah berteriak dengan suara lantang
dan memarahinya agar bermain jauh-jauh dari kami. Apa boleh dikata, aku tidak
ingin jejak kaki kecilnya itu merusak pola yang telah kurancang dengan
sempurna. Tapi sebagaimana layaknya bocah yang penuh rasa ingin tahu, ia tak
mau dilarang tanpa penjelasan.
“Maka, tak lama setelah aku menjelaskan
apa yang sedang kami kerjakan (ketika itu teman-temannya yang lain ikut
mendekat karena terlalu lama menunggu si bocah mengambil bola), akhirnya mereka
semua berhenti bermain sepak bola dan mulai memperhatikan kami dengan seksama
dari titik-titik dan jarak yang kuperbolehkan.
“‘Untuk apa itu, Kak?’ tanya seorang
lagi di antara mereka, memberanikan diri. Wajahnya tampak serius menanti
jawaban yang keluar dari mulutku, seraya sesekali mengelap ingusnya dengan
punggung tangannya. Ia bertubuh paling kecil di antara yang lainnya, namun
sinar matanya menyiratkan kecerdasan.
“Aku menghentikan langkahku
menginjak-injak batang ilalang yang mulai menguning di bawahku, merasa
terganggu, menatapnya. Cukup lama untuk membiarkan sebongkah peluh luruh lalu
menjuntai di antara kedua alis mataku.
“‘Hei, Bocah, apa kamu pernah membaca
cerita Petualangan Tom Sawyer?’ Aku balik bertanya. ‘Atau Petualangan Sinbad si
Pelaut?’
“Si bocah menggeleng.
“‘Apa kamu suka menonton film Indiana
Jones?’
“Si bocah kembali menggeleng.
“‘Hmmm… kalau begitu, apa kamu
suka petualangan?’
“Kali ini si bocah mengagguk. ‘Ya,
kadang kami suka bermain jadi bocah petualang seperti di TV,’ jelasnya bangga.
“Aku lantas berjalan perlahan
menghampiri mereka dengan langkah hati-hati. ‘Nah, kalau begitu apa yang
kulakukan sekarang ini adalah hendak memulai cerita petualanganku sendiri.
Sejak dulu aku selalu ingin memuaskan imajinasi terliarku… Kalian mau tahu? Aku
ingin memanggil alien!’ kataku sungguh-sungguh, aku mengatakan hal itu tepat di
depan hidung mereka dengan penuh penekanan. Terlebih, sebenarnya hal ini
kumaksudkan untuk mengusir mereka.
“‘Aku mengukir pola di atas padang
ilalang ini dengan maksud untuk menyampaikan pesanku pada mereka… Aku ingin
agar bisa diculik oleh alien! Ini pasti akan jadi petualangan yang sangat
menyenangkan jika aku bisa melakukan perjalanan melintasi jagat raya dan pergi
ke dunia alien bersama mereka! Heheheh… Iya ‘kan?’
“‘Sinting, sinting!’ mungkin itulah yang
ada di benak si bocah ketika itu. Kuperhatikan dengan jelas bagaimana pupil
matanya membelakak. Hihihi!—aku terkikik dalam hati. Aku menikmatinya,
membayangkan sebentar lagi mungkin ia dan teman-temannya akan terbirit-birit
dari tempat ini, sehingga aku tak perlu merasakan lagi adanya gangguan kecil
yang bakal menunda pekerjaanku.
“Pelan—pelaaaann sekali—dengan langkah
teratur, si bocah ingusan yang bertanya tadi mundur ke belakang. Sambil tetap
memandangku dengan sorot mata yang menyatakan aku sinting sesinting-sintingnya,
ia menyikut salah seorang anak di sebelahnya. Temannya itu tampak kaget,
kemudian serta-merta mengikutinya mengambil langkah mundur. Begitu pun yang
lain. Mereka beringsut ke sudut lain padang ilalang menuju lapangan
terbuka tempat mereka bermain bola tadi.
“Ha! Aku tersenyum simpul, dan berpikir
aku telah berhasil menakut-nakuti mereka, tapi yang terjadi malah kebalikannya.
Dasar anak-anak kampung! Mereka semua lantas berbisik-bisik dengan kepala
tertunduk, lalu dengan cepat menyuruh dua orang di antara mereka untuk segera
pulang ke rumah. Dengan perasaan bingung, cemas, takut, sekaligus tertarik,
mereka mengabarkan berita tentang kami kepada orang-orang dewasa lainnya di
kampung...
"Dan seperti yang kamu lihat
sekarang, tak lama setelah itu, proyek kami pun segera menjadi tontonan
orang-orang kampung.
“Tidak aneh, aku bergumam pada seorang
teman di sebelahku. Manusia dengan sifat keingintahuannya yang besar. Sementara
kami tetap meneruskan pekerjaan kami, kabar dengan cepat berkoar, menyebar ke
segala penjuru laksana hembusan angin. Dan kini mereka pun sepakat memberi
julukan padaku sebagai 'Si Pemanggil Alien'. Julukan yang tidak buruk, bukan?
“‘Tunggulah sebentar lagi dan aku akan
diliput oleh stasiun TV, hehehe…’ ceracauku di tengah panas terik yang membakar
ubun-ubun. Teman-temanku yang lain terkekeh. Wajah mereka memerah terpanggang
matahari.
“Sebagian orang-orang tua di kampung ini
ternyata masih mengenaliku. Karena ketika kecil aku pernah tinggal di kampung
ini sewaktu Mamaku masih menumpang tinggal di rumah kakekku dan berjuang
seorang diri. Sementara Papa bekerja di seberang lautan, dan mulai jarang
pulang. Orang-orang bilang ia mempunyai istri lagi di seberang, tapi aku tak
peduli. Toh, mereka tak pernah benar-benar ada untukku, jadi aku telah membuang
jauh-jauh rasa kehilanganku sejak kecil. Namun, meski sekarang Papa dan Mama
telah resmi berpisah, Papa masih sering berkirim kabar dan sekadar menanyakan
keadaanku (yah—whatever!). Kini, setelah mapan, Mama telah mampu membeli
rumah sendiri di komplek perumahan mewah di kota. Dan di sanalah aku tinggal
sejak kelas 6 SD hingga sekarang.
“Oke, cukup bercerita tentang masa
kecilku. Kembali ke ceritaku, sudah berjam-jam lamanya kami mengerjakan
proyekku, dan mereka semua, para penduduk kampung, masih tetap memperhatikan
kami dengan khusyuk bagiamana kami mengukur, mengamati, membandingkan, mengukur
lagi, mengamati lagi, lalu membandingkan lagi hasil yang telah kami capai
dengan pola crop circle yang tercetak di atas kertas.
Sebelumnya sudah kukatakan bukan, rasanya sungguh melelahkan bekerja di tengah
panas terik seperti ini. Tapi selain itu, aku juga merasa bahagia dengan apa
yang sejauh ini kami kerjakan. Sembari menyesap air mineral dalam botol yang
kubawa kurasakan pandanganku mulai berkunang-kunang. Terik matahari kian garang
menyorot, menampakkan siluet enam tubuh pemuda yang berdiri kepayahan dan
bersimbah peluh di atas hamparan ilalang yang pitak dan mulai menampakkan
jajaran bentuk simetrisnya dengan anggun.
“Namun aku tidak akan menyerah, batinku…
Aku tidak ingin karyaku ini meleset barang seinchi saja. Aku ingin karyaku ini
bisa terbaca oleh mereka. Aku percaya, keinginan yang kuat dan
antusiasme yang menyala-nyala dalam diriku akan mengalahkan segalanya.
“Aku ingin bertemu alien. Sekali lagi
aku mematri tekad itu dalam dada. Aku ingin menjelajahi planet mereka. Aku
ingin melihat rupa kebudayaan mereka. Aku ingin menjadi Sinbad modern. Walaupun
untuk itu, aku harus rela menawarkan diriku seperti Indian yang dibawa oleh
Columbus dari benua Amerika menuju Spanyol…
“Menjelang sore, ketika sorot matahari
telah redup dan menawarkan semburat jingga di langit barulah kami benar-benar
menyelesaikan pembuatan crop circle-ku. Seraya bersama-sama
merebahkan tubuh kami yang kelelahan di bawah bayangan sebuah pohon jambu biji,
kulihat seekor elang melesat membelah angkasa. Aku membayangkan diriku menjadi
elang itu. Dan melalui matanya aku bisa melihat crop cirle-ku
membentang dengan indah di atas padang ilalang, berada tepat dua puluh meter ke
kanan dari tempat kami berbaring sekarang. Berbentuk persegi dengan ukiran
dot-dot matriks segiempat ataupun persegi panjang, ada pula yang berbentuk
seperti huruf L, lebar, serta sempit, dan menyerupai sebuah labirin kecil.
Itulah crop circle-ku yang berbentuk QR code.
“QR code?
“QR code?
“Ah, baiklah, mungkin kamu sedikit
kurang paham dengan istilah QR code. Menurut Wikipedia, quick
response code, atau biasa disingkat QR code, adalah
suatu jenis kode matriks atau barcode dua dimensi yang
dapat dibaca dengan pemindai QR code ataupun kamera ponsel.
Umumnya QR codedigunakan untuk mencantumkan teks, alamat URL,
ataupun informasi lainnya. Dan aku memanfaatkan teknologi ini sebagai media
untuk menyampaikan pesanku yang menuju ke URL halaman blog serta profile
page-ku.
“Ada alasan tersendiri kenapa aku
memilih QR code sebagai bentuk crop circle-ku. Aku
mengasumsikan alien itu sebagai makhluk yang cerdas dan berperadaban maju.
Jadi, menurutku pasti mereka telah lebih dulu bisa membaca kode itu dengan
teknologi mereka ketika mereka melihat crop circle-ku di atas
permukaan padang ilalang ini nantinya. Di posting blog itulah aku menjelaskan
secara rinci tentang keinginanku untuk berhubungan dengan mereka, dan
seterusnya, dan seterusnya… seperti yang telah kuterangkan padamu sebelumnya.
Posting itu kuberi judul ‘A Letter to Alien: Take Me With You,
Outsider!’ (=Surat Untuk Alien: Bawa Aku Bersamamu, Makhluk Asing!)
dan ditulis dalam Bahasa Inggris. Di sini, lagi-lagi aku mengasumsikan kalau
alien itu benar-benar makhluk yang cerdas, toh, mereka pasti telah lebih dulu
mempelajari bahasa manusia bumi. Dan dalam hal ini, bahasa yang paling populer
digunakan oleh manusia bumi adalah Bahasa Inggris…”
Si petugas polisi tercenung. Sejauh ini
ia belum mendapatkan petunjuk jelas perihal menghilangnya si pemuda seperti
yang dilaporkan oleh Ibunya di hadapannya. Namun sebaliknya, ia merasa sangat
penasaran dengan lanjutan cerita si pemuda di dalam recorder tersebut.
Maka ia segera menelusuri layar recorder dan menekan
tombol ‘next’ untuk memutar filerekaman
berikutnya.
“Kamis, 31 Maret. Jam 23.05.
“Beberapa malam setelah aku
mengerjakan crop circle-ku aku mulai mengalami mimpi aneh. Aku
tidak dapat menjelaskannya. Semuanya serba kelabu dan seakan-akan pikiranku
diselimuti kabut. Tapi, celakanya, di saat tengah sendirian seperti ini aku
mendadak dapat mengingat kembali kilasan-kilasan mimpi aneh tersebut,
berkelebatan di dalam kepalaku setiap kali aku melihat ranjang tidurku yang bresprei
putih. Orang-orang tinggi berbaju putih. Ranjang—tepatnya seperti meja—dengan
cahaya putih yang menyilaukan di langit-langit. Lalu tatapan-tatapan penuh
selidik yang menakutkan. Semua gambar itu seperti dilemparkan begitu saja,
silih berganti, di dalam kepalaku dalam durasi yang bahkan sangat cepat untuk
diingat.
“Maka dari itu kuputuskan untuk tidak
tidur saja malam ini. Aku terus memikirkan hal itu hingga syaraf-syarafku
tegang. Aku malu mengatakannya, tapi aku merasa takut untuk tidur sendirian—di
atas ranjang itu. Akhirnya aku memilih duduk di meja belajarku saja
dan mulai merekam semua ini. Entahlah, mungkin aku hanya paranoid… Ada sensasi
aneh dan galau yang membuat jantungku berdetak lebih cepat melihat ranjang
putih itu. Degup tak beraturan yang merisaukan.Sepertinya tubuhku menolak untuk
berbaring di sana, dan otakku menolak untuk mengingat guna memberi penjelasan.
“Mulanya aku sama sekali tidak
menghiraukan sensasi itu sejak kurasakan beberapa malam lalu, tapi malam ini
ketakutan itu lebih kuat melanda diriku. Aku dicekam teror yang tak mampu
kujelaskan perihal sebab musababnya. Dan aku tidak bisa tidur karenanya.
“Perlahan, gambar ranjang putih di
retina mataku itu membawaku kembali pada cuplikan mimpiku. Kilasan-kilasan yang
berkelebat dalam kepalaku kini menjadi lebih jelas. Kejadiannya dua malam yang
lalu. Di dalam mimpiku itu, aku melihat tiga orang bertubuh tinggi dan bermata
kubil dengan wajah bercadar. Mata itu hitam seluruhnya, dan kelam. Mereka
memandangiku tak berkedip. Lama. Aku yakin mereka sepertinya tengah mempelajari
bentuk tubuhku, atau menelitiku… Aku? Hei, itu aku yang tengah berada di atas
meja putih di hadapan mereka! Mereka berdiri di kedua sisiku. Di bawah sinar lampu
yang menyilaukan di atas kepala mereka, kulit wajah mereka tampak berwarna
abu-abu. Selain itu seluruh bagian tubuh mereka tertutup pakaian.
“Aku di dalam mimpiku panik. Keringat
dingin segera menyembur di wajahku. Tapi tubuhku tidak dapat melawan, atau
meronta. Sepertinya aku berada di bawah kendali mereka.
“Aku sangat ketakutan mengingat mimpi
itu. Semuanya tampak sangat nyata. Aku mulai tidak yakin sekarang, apakah itu
hanya mimpi belaka atau... Ah!—aku tahu, sebenarnya itu adalah kilasan pengalaman
yang berusaha dihapuskan dari memoriku bahwa aku telah benar-benar diculik oleh
alien! Ya Tuhan!
“Eh, suara itu!
“Apa kamu mendengar suara itu, Kawan?
Suara samar dan bernada rendah seperti yang pernah kudengar dalam mimpiku.
Seperti siulan, tapi bukan. Seperti desahan, tapi lebih rendah dari itu…
"Ah, kilasan demi kilasan dalam
kepalaku kembali lagi! Seperti slide showgambar berkualitas rendah
yang berputar pelan di dalam kepalaku… Ingatanku makin jelas sekarang. Gambaran
itu merupakan adegan lanjutan dari mimpiku sebelumnya. Di dalam mimpiku itu
mereka berbicara dalam bahasa yang tak kumengerti. Aku ingat, mereka sepertinya
baru saja berdebat tentangku. Setelah menyuruhku bangkit dari ranjang tempatku
berbaring tadi, mereka lalu mempersilahkanku duduk di sebuah kursi di sudut
ruangan. Ruangan itu luas dan dipenuhi tabung-tabung kaca beraneka ukuran di
dindingnya. Di dalamnya berisi masing-masing sampel tetumbuhan dan hewan-hewan
yang ada di bumi dalam cairan kuning yang bergelembung-gelembung.
“Di meja di depanku—meja itu dipenuhi
tumpukan kertas-kertas dan sebuah layar kotak tipis tembus pandang seperti kaca
yang kemudian kuanggap sebagai layar LCD komputer—salah seorang dari sosok
tinggi itu mengambil duduk di depanku dan kembali menatapku. Berhadapan
satu-satu, sepertinya ia mewawancaraiku seolah aku seorang pasien yang baru
saja diperiksa oleh dokternya. Ia menanyaiku macam-macam dalam bahasa aneh yang
tak mengerti, tapi aku tahu maksud percakapannya. Seolah ia
sedang berbicara langsung ke dalam kepalaku, melalui pikiranku. Jadi aku hanya
mengangguk dan menggeleng saja. Aku tak ingat berapa lama, tapi sepertinya
cukup lama sesi tanya jawab itu berlangsung…
“Ha!—suara itu lagi. Apa kamu mendengar
suara itu, Kawan?
“‘Ya. Jelas sekali di dalam kepalaku.
Sepertinya suara itu berbicara langsung melalui gelombang otakku. Pasti ini
yang namanya telepati. Dan sepertinya itu adalah suara panggilan untuk
kita…’
“Mendadak kurasakan sebentuk aliran hawa
dingin merayapi punggungku. Hah!? Itukah mereka, para alien? Tak salah lagi!
Mereka adalah tiga sosok tinggi yang menculikku dua malam lalu dan
mewawancaraiku setelah membaca pesanku di padang ilalang. Aku yakin mereka juga
telah membaca blog tentang keinginanku untuk berhubungan dengan mereka. Dan waktu
itu mereka mendebatkan apakah aku boleh ikut dengan mereka atau tidak.
“Aku ingat di pagi hari setelahnya aku
mendapati jejak tanah di lantai kamarku yang berasal dari bawah daun jendela.
Sepertinya aku telah dipanggil dalam tidur menuju pesawat mereka.
“Dan sekarang mereka memanggilku kembali
untuk ikut dengan mereka. Panggilan itu telah datang malam ini. Tampaknya
mereka telah mengambil keputusan atas penawaranku. Namun, meskipun aku telah
menyiapkan diriku sedemikian rupa untuk hari ini, tapi sebagian diriku yang
lain kini mendadak merasa takut. Ciut. Dan bermaksud memilih mundur. Aku tak
bisa mengendalikan tubuhku yang gemetaran.
“'Tidak, tidak, hapuskan ketakutan dan
keraguanmu itu, Kawan!' bagian diriku yang lebih kuat berusaha menguatkanku.
'Aku adalah temanmu. Dan kamu adalah temanku. Kita adalah satu…' katanya lagi
meyakinkanku, membujukku. 'Ini mimpi kita, mimpi kita yang menjadi nyata. Jadi
kamu harus ikut bersamaku untuk memenuhi panggilan itu!'
“Panggilan itu menggiring tubuhku untuk
mendongak keluar ke jendela. Kulihat sebuah benda hitam besar laksana
segumpalan awan mendung melingkupi langit atas rumahku. Sementara di bagian
tengahnya terdapat selarik cahaya benderang, menyorot menyilaukan layaknya
lampu panggung berukuran raksasa. Di sekitarnya daun-daun yang berserakan di
halaman berterbangan dalam formasi lingkaran, dan suara gemuruh angin
seakan-akan menjerit ketakutan menyaksikan fenomena itu. Itulah sinyalnya.
Itulah pintu masuknya; sinar itu akan menyedot apa saja yang ada di bawahnya.
“Kedua tanganku bergegas membuka daun
jendela dengan cekatan. Hei, aku tidak mau ke sana!—jeritku dalam hati. Itu
bukanlah aku yang mengendalikan tanganku untuk membuka
jendela. Tubuhku seperti dihipnotis. Bagian diriku yang masih sadar berusaha
kuat menghentikannya, tapi pengaruh kendaliku kalah jauh.
“‘Apa!? Bagaimana dengan Papa-Mama,
katamu…? Lalu dimana mereka saat kamu sendirian? Hei, hanya aku yang yang
menemanimu di saat mereka sibuk kerja!’ teriak bagian diriku yang lebih kuat.
“Oh , tidak! Aku salah. Ternyata aku
tidak sedang dihipnotis. Ternyata bagian diriku yang lebih kuatlah yang telah
menguasai diriku dan memaksaku menuju cahaya itu.
“‘Tidak, tidaaaaakk…! Hentikan aku!
Sejak awal kamulah yang mempunyai ide ingin diculik alien itu!' kataku pada
bagian diriku yang lebih kuat, memohon.
“‘Ayolah, ini mimpi kita! Mimpi kita
yang menjadi nyata…' jawab diriku yang lebih kuat, suaranya nyaring, bergetar
tanda ia telah menemukan kesenangan tiada terkira. Tidak dipedulikannya sama
sekali aku yang tengah merengek ketakutan. Sebaliknya ekspresi
wajahnya—bayangan wajahku yang terpantul di kaca jendela—tampak sangat
kegirangan menghadapi semua ini. Matanya melotot seakan nyaris keluar dari
kelopaknya. 'Hahahaha! Apa kamu lupa? Kita akan bertualang melintasi galaksi!
Bayangkan akan betapa menyenangkannya hal itu, Kawan!'”
“‘Tapi kamu hanyalah teman khayalanku!
Berhentilah memerintahku!’
“‘Oh ya?’
“‘Hei, hentikan! Hentikan! Berhentilah
menarik dan meminjam tubuhku…!’
“'Ah, waktunya habis, Kawan! Ucapkan
selamat tinggal pada bumi!'”
Tukk! Terdengar suara recorder itu
terantuk sesuatu, sepertinya terjatuh ke atas rumput di halaman. Lalu
selanjutnya terdengar suara angin berhembus sangat kencang, seolah di tempat
itu ada sesuatu yang mengambang di udara dan menerbangkan apa saja di bawahnya.
Lalu perlahan suara seruan angin tersebut terdengar mereda, sepertinya sesuatu
di angkasa itu telah bergerak menjauh dan menjauh…
Hingga akhirnya hanya terdengar suara angin malam biasa yang berdesir di senyap malam…
Hingga akhirnya hanya terdengar suara angin malam biasa yang berdesir di senyap malam…
Di meja kerjanya si petugas polisi
tergugu. Ini kasus yang sangat langka dan aneh. Kepalanya dipenuhi berbagai
praduga. Rona wajahnya yang pucat menampilkan kengerian setelah mendengar
keseluruhan cerita di dalamrecorder itu. Si Ibu menatap penuh harap
ke matanya, berharap menemukan kepastian ia akan berjumpa lagi dengan putranya.
Semburat bening mengambang di kedua sudutnya. Meleleh. Lalu menganak sungai di
antara pipinya.
“Pak Polisi, tolong temukan anakku…”
ratapnya pilu, seolah memperdengarkan dari kedalaman hatinya yang paling dalam
ia telah lama sekali kehilangan putranya itu
0 komentar:
Posting Komentar