Gelap. Hitam. Tak ada setitik sinar yang dapat aku lihat. Ya Tuhan, aku
ingin menangis. Ada apa denganku? Di mana aku? Mengapa ini terjadi? Aku
mebelalakkan mataku selebar mungkin. Selebar-lebarnya,
sebesar-besarnya. Tapi tetap saja, sinar itu tak kunjung datang. Masih
gelap. Hitam. Dan akhirnya aku tahu, aku kini bukan aku yang satu jam
yang lalu. Aku kini berbeda. Aku buta.
Terdengar bisikan di sebelah kiriku.
“Salsa, kamu sudah bangun, Nak?” Aku tahu, itu suara Mama.
Aku balas sapaannya,” Mama? Mama. Salsa..Salsa..gelap Ma, gelap..” aku
hanya bisa berkata seperti itu. Begitu banyak pikiran dan pertanyaan
berdesakkan memenuhi otakku. Aku tak tahu mana dulu yang harus aku
ungkapkan.
“Sayang, katakana pada Mama ada apa? Apa yang terjadi, Nak?”
tanya Mama. Aku rasakan dan aku dngar, Mama kini mulai khawatir dan
kebingungan. Aku mulai menjawab dan aku mulai menangis, aku tak kuasa
menahan batu berat yang sedari tadi menikam jantungku.
“A, aku…aku…aku enggak tahu, Ma. Aku enggak bisa lihat
apa-apa, hitam, Ma. Glap. Aku buta , aku buta..” teriakku sambil
menangis tersedu-sedu. Tak tahu kenapa, hatiku begitu sakit. Tapi
sedikit tersirat di palung hatiku yang terdalam, aku bahagia.
***
Aku. Salsabila Betana. Aku adalah seorang indigo. Kamu tahu
indigo itu apa? Huh. Aku yakin, tak ada satu manusia di pelosok dunia
mana pun yang mau menjadi seorang indigo. Aku dilahirkan dengan dua buah
mata yang indah. Ya, mataku cokelat indah. Banyak orang yang bilang aku
begitu beruntung dengan mata indahku ini. Hah. Omong kosong. Orang lain
tak pernah merasakan betapa tersiksanya aku dengan indra penglihatanku
ini. Kamu tahu apa? Aku begitu tersiksa dengan segala sesuatu yang dapat
aku lihat di sepanjang hidupku ini. Sesuatu yang ketika kamu
melihatnya, kamu akan mencoba untuk mencongkel matamu agar kamu tak
perlu melihat sesuatu yang keteika kamu melihatnya, membuat kamu tahu
yang lain. Membuat kamu gila. Membuat kamu ingin mati. Mengetahui
kehidupan di dunia selain dunia manusia. Aku bisa melihat pula. Aku bisa
melihat kematian seseorang. Aku seorang yang tak pernah mengrti apa itu
arti hidup dengan semua yang ada.
Kali pertama. Saat umurku masih genap empat tahun yang
indah, yang dipenuhi bermilyar-milyar bintang, aku mengucek mata karena
ngantuk. Sudah setengah jam lamanya di atas sofa empuk sambil menonton
TV dan mengunyah roti tak habis-habis. Semua keluarga sedang berkumpul
di ruang keluarga dan bercengkrama riang penuh dengan tawa. Mama, duduk
dekat Papa sambil bercanda menggoda Kak Alfa yang katanya, saat itu
sudah punya pacar. Sungguh suasana yang sangat mengasyikan. Namun,
tiba-tiba…
Jantungku berdetak begitu keras ketika…aku tak tahu apa
itu. Bayangan, atau memang sebuah wujud, hitam, besar, menghalangi
pandanganku. Ia berdiri di depanku. Saat itu aku hanya bisa melihat
kakinya yang begitu besar, yang hitam legam. Aku angkat kepalaku sampai
menengadah. Ya Tuhan… makhluk ciptaanmu itu sungguh besar sekali. Aku
lihat, ia berdiri di depanku menembus atap rumahku. Ia tinggi sekali,
aku tak bisa jelas melihat wajahnya yang mungkin, sejajar dengan ujung
tiang listrik.
Detik itu, tak ada lagi yang bisa aku lakukan. Aku membatu
sambil menggenggam roti, menengadah, membelalakkan mata dan menganga.
Badanku sedikit bergetar. Aku begitu ketakutan. Makhluk itu tak kunjung
pergi. Ia sebenarnya mau apa? Aku menangis. Hanya mengeluarkan air mata
dengan ekspresi dan posisi tubuh tetap membatu. Saking takutnya, aku
hampir tidak bisa bernafas.
Aku merasakannya. Mama dan Kak Alfa mengguncang-guncangkan
bahuku keras-keras. Percuma. Tak membuatku bergrak sedikit pun. Masih
menggenggam roti, menengadah, membelalakkan mata, dan menganga. Aku
dengar, Mama menangis. Papa bolak-balik bingung, tak tahu harus
melakukan apa. Kak Alfa berdoa, mulutnya komat-kamit tak karuan. Aku,
masih memandang makhluk besar hitam dihadapanku dan terus mengalirkan
air mata.
Tiba-tiba, makhluk itu bergerak, bergerak maju, mendekatiku.
Semakin aku membatu, hanya jantungku saja yang bergerak, berdetak
begitu kencang. Dan..ia, makhluk itu menembus tubuhku. Membuatku harus
terloncat jatuh ke pelukan Mama. Makhluk itu pergi, ia tiba-tiba
menghilang. Tak tahu kemana. Aku sadar kembali. Aku bisa bernapas lega
kembali, walau agak ngos-ngosan. Dan sejak saat itu, aku tahu, aku bisa
hidup di dunia selain dunia manusia. Setelah Papa memanggil seorang
paranormal hebat, aku semakin yakin, aku adalah seorang indigo.
***
Pernah saat itu, aku tak tahu harus menyebut pengalaman apa
ini. Seram atau lucu. Dulu, kira-kira lima tahun yang lalu, ketika aku
masih duduk di bangku kelas dua SMA. Aku dan teman-temanku mengadakan
tamasya ke pantai Losari, Makassar. Di sana, aku menginap di sebuah
villa bergerbang tinggi. Villanya begitu besar dan megah. Murid-murid
tidur di lantai dua, sedangkan guru-guru tidur di lantai satu.
Tiba-tiba ketika bulan menampakkan utuh wujudnya. Bulat.
Putih. Tengah malam Senin itu jauh lebih menyeramkan dari malam-malam
yang pernah aku lalui sebelumnya. Di sisiku tidak ada Mama, Papa atau
pun Kak Alfa. Aku, hanya teman-teman sebayaku saja, yang tak bisa
seutuhnya melindungiku. Aku tidur di atas ranjang kecil di sisi sebuah
jendela yang langsung memaparkan keindahan pemandangan pantai Losari.
Udara malam itu begitu dingin. Sedingin selimut tipis yang kini membalut
tubuhku. Perlahan-lahan aku pejamkan mataku. Tak membutuhkan waktu yang
lama, aku tertidur. Pulas. Begitu lelap.
Aku bermimpi, aku sedang ada di sebuah pemakaman. Semua
orang menjerit-jerit dan menangis begitu oilu. Ada seseorang yang
meninggal. Aku tak kenal siapa orang itu. Aku berdiri di belakang
seorang bapak botak berkaca mata. Aku menyelinap, dan aku berhasil
membuatnya berada di belakangku. Ternyata bapak botak itu berdiri paling
depan, di depan nisan. Saat itu aku baru bisa membaca nama orang yang
meninggal itu. Namanya…kurang jelas. Namun aku bisa lihat tahun
kelahirannya, 1986. Aku masih bingung, mimpi apa aku ini. Sempat, aku
menengok ke jasad yang telah dikafani dan telah dijatuhkan ke tanah itu,
mayatnya seorang wanita. Cantik.
Tiba-tiba gelap, episode di mimpiku itu telah berakhir. Aku
terbangun, tapi masih menutup mata. Aku tersentak. Hah. Aku bilang saat
itu, “Hanya mimpi,” dan aku menarik napas dalam-dalam dan kembali
menghembuskannya. Perlahan-lahan aku buka kelopak mataku, aku ganti
posisi tidurku yang tadinya menghadap ke depan, menjadi ke kiri, ke arah
jendela. Dan, ketika aku membuka mataku,
“Aaaaaaarrrrrgggghhhhh!!!” jeritanku membangunkan seluruh
penghuni kamar. Aku melihat seorang wanita tersenyum di balik jendela.
Wanita itu melayang dengan mengenakan baju putih gombrang
compang-camping, dengan rambut acak-acakan, hitam dan panjang. Wajahnya
bersimbah darah. Ia tersenyum padaku, namun ia kembali melayang pergi,
sambil tertawa cekikian. Tawanya begitu menyeramkan, membuatku jadi
bergidik. Ia pergi sambil melambaikan tangannya padaku. Hah. Lucu.
Dua hari setelah kejadian itu, aku menonton TV di rumah
ketika aku baru saja pulang dari tamasyaku. Aku memutar-mutar channel
tak henti. Aku cari siaran yang menarik dan sampailah di berita
criminal. Aku lihat di sana, ada berita telah dibunuhnya seorang gadis
kelahiran tahun 1986. Disiarkan pemakaman gadis itu. Kameramen berada di
belakang seorang bapak botak berkaca mata, kamera menyelinap ke
depannya, dan mulai men-shoot nisan. Nama si korban pembunuhan tidak
terlihat jelas, hanya tahun kelahirannya yang bisa tergambarkan, 1986.
Kamera kembali menyoroti si jenazah. Jenazah seorang wanita. Cantik.
Ya. Itu kelebihanku. Aku nisa melihat masa depan, aku bisa
melihat kematian seseorang. Si kuntilanak, yang menampakkan wujudnya di
depan jendela kamar villa yang aku inapi, adalah roh gadis yang
meninggal itu. Ia meminta bantuan padaku. Namun apa daya, aku tak bisa
lakukan apa-apa.
***
Sebelah mata yang melayang, kaki yang berjalan di atas
tangga, tangan buntung yang meraba-raba, kepala yang tergantung,
bayangan di kaca, kuntilanak, pocong, genderewo, hah, capek. Semua itu
adalah teman-temanku. Melihat kematian kakekku, si A, si B, si C. Semua
itu adalah kebiasaanku. Setiap hari pasti aku melihat satu penampakkan,
lumayan, aku lumayan terbiasa, walau aku masih tidak bisa menghilangkan
rasa takutku. Wajar kan? Wajar kan aku takut? Ya, siapa sih orang yang
tidak takut jika setiap harinya ia harus berkomunikasi dan hidup di
dunia yang bukan dunianya, hidup di dunia gaib.
Tapi, kini aku brsyukur. Tuhan mendengar doaku. Setiap hari,
ketika aku telah melihat sesuatu, aku selalu meminta kepada Tuhan.
Tuhan, apa ini jalan hidupku? Hidup di tengah-tengah
kehidupan dua alam? Hidup di kehidupan nyata dan maya? Hidup di
tengah-tengah kaki yang berjalan sendiri, hidung yang melayang, kepala
tanpa wajah? Tolong Ya Tuhan, aku ingin semua ini berakhir dengan cepat.
Aku ingin hidup normal. Aku ingin seperti orang biasa yang hidup
tenang. Apa manfaatnya aku seperti ini? Tolong Ya Tuhan, tolong ambil
mataku, agar aku tak melihat semua yang aku lihat saat ini. Tolong, aku
ingin kau ambil mataku saja, Ya Tuhan!
Mungkin, kini Tuhan sedang mengabulkan semua doaku. Ya,
aku buta. Aku kini tak akan pernah melihat lagi makhluk-makhluk
menyeramkan itu. aku kini tak akan pernah melihat lagi pertanda kematian
orang lain. Aku kini akan hidup tenang, damai, walau hanya hitam yang
menghiasi hari-hariku.
***
Kemarin
Di lalu lalang kota Jakarta yang begitu ramai. Aku sendirian
mengendarai sepeda motor bututku. Map-map tebal aku simpan di tas yang
terdiam rapi di punggungku. Map-map itu adalah map lamaran kerjaku. Kini
aku harus segera mendapatkan pekerjaan. Umurku sudah 22 tahun. Sarjana
sudah menjadi gelar baruku. Malu jika aku masih saja duduk nganggur di
rumah dengan hanya mengandalkan gaji Papa.
Di jalan, aku kencangkan ikat kucirku, aku rapikan kaos
oblong merah gombrang dan aku ikat tali sepatu. Aku sudah siap dengan
hari ini. Ketika aku sedang ngebut mencari lokasi tempat aku harus
melamar, hmmm, tiba-tiba sebuah tangan mengelus pipiku. Tangan itu
berasal dari makhluk yang kini duduk di belakangku. Anak kecil. Ya, anak
kecil perempuan kurus pucat. Dia berkata padaku, “Kak, kakak tolong
anterin saya ke sekolah, ya! Ibu saya jahat Kak, ibu saya enggak mau
nganterin saya ke sekolah. Anterin saya Kak!” anak itu berbisik begitu
lembut di telingaku. Aku kaget. Aku hilang kendali.
Kemarin, adalah hari yang tak akan pernah aku lupakan seumur
hidupku. Hari yang menjadi hari akhir aku hidup sebagai seorang indigo.
Aku banting stir motor ke kiri. Salah, motor menabrak
trotoar dan sebuah gerobak sampah. Aku terlempar dari motor, aku sempat
melayang beberapa detik, kepalaku menabrak sebuah tiang, aku jatuh, aku
tumbang. Dan terakhir, sebuah batu yang ukurannya tidak begitu besar dan
tidak terlalu kecil, tak tahu darimana asalnya, jatuh, menimpaku, pas,
membentur mataku.
Itulah, kejadian kemarin. Kejadian yang membawaku ke rumah
sakit ini. Kejadian yang membawaku ke akhir penderitaanku. Aku kini
buta. Tak ada lagi hantu-hantu dan penampakkan yang bisa aku lihat.
Walau hanya hitam, tapi kini kedamaian sudah aku miliki. Tapi tunggu,
aku mendengar sesuatu.
“Kakak, ini aku kak…Kakak kenapa enggak nganterin aku ke
sekolah? aku di sini Kak, di sebelah Kakak. Kalau Kakak tetap tidak mau
mengantarku, aku akan tetap di sini bersama Kakak,” bisik seorang anak
kecil. Diam. Aku terdiam. Aku menelan ludah. Aku tak bisa melihatnya.
Tapi, aku masih bisa mendengar, merasakannya. Semua itu. mimpi buruk
itu, ternyata belum sepenuhnya terlepas dan binasa dariku. Aku. Apa aku
masih bisa dibilang seorang indigo?
“Aaaaarrrggghhh!” aku menjerit sejadi-jadinya.