MANEKIN

Oleh : Ricky McQuint1
Sumber : https://www.facebook.com/RickyMcQuint1/posts/487374448003199
Aku repost di :  http://mistik.reunion.web.id/5213/manekin.htm
***
” Berkali-kali ku katakan bukan? Aku disini bekerja,bukan untuk main-main. Berhentilah berpikir buruk tentangku.” Protes Donny di telepon ketika sang kekasihnya,Risda mencurigainya berselingkuh. Donny dan Risda memang pasangan jadian beberapa bulan lalu. Tapi,karena tuntutan pekerjaan,Donny harus keluar kota.

” Aku cuma gak ingin kehilangan kamu,,,” jawab Risda lirih. Hatinya makin sakit mendengar sang kekasihnya memaki-makinya.
“Yaudahlah, besok kita ngobrol lagi. Aku sayang kamu” putus Donny mengakhiri pembicaraan.
Risda hanya perempuan biasa. Perempuan malam yang bertemu dengan Donny,lalu berpacarannya dengannya. Donny tidak menyukai Risda dengan pekerjaannya menyuruh Risda untuk berhenti bekerja. Dan disaat “nganggur” seperti inilah,Risda dilanda kecemasan terhadap Donny. Risda mencintai Donny, ia tidak ingin kehilangannya.
” Sudahlah… Dia hanya sibuk,itu saja.” Hibur Indah melalui inbox Facebook.
” Tapi, aku hanya ingin dapat perhatian saja. Itu saja,gak lebih.” Jawab Risda.
” Pelan-pelan saja omongin ke dia, disaat dia tidak sibuk.  ” balas Indah lagi. Risda tidak menggubris inbox itu. Yang ada di pikirannya,hanya Donny,Donny,dan Donny.
” Aku harus bertemu dengan Donny!” Pikir Risda. Dengan nekat,dia membeli tiket pesawat menuju kota dimana Donny bekerja. Kebetulan, ia mendapat promo tiket murah dari salah satu maskapai penerbangan. Hatinya bahagia,karena dalam hitungan beberapa jam lagi,ia akan segera bertemu dengan sang kekasihnya.
Risda sengaja merahasiakan hal ini kepada Donny, ia ingin memberikan kejutan.

***
” Akhirnya… Sampai juga,” ujar Risda. Ia menarik nafas lega begitu ia keluar dari pesawat. Risda segera meluncur ke taxi service dan pergi ketempat Donny berada.
” Yakin disini mbak?” Tanya supir taksi kepada Risda ketika mereka berhenti di alamat yang diberikan Risda. Riska mengerutkan dahi, ia yakin Donny mengirimkan alamat ini kepadanya. Tapi yang ia temui hanyalah tanah gersang dan pohon-pohon yang bisa dibilang “mengerikan”.
” Bapak yakin ini tempatnya? Alamat ini? ” Tanya Risda.
” Iya mbak,ini alamatnya. Mungkin mbak salah catat alamat,” jawab supir taksi.
Risda semakin mengerutkan dahi, ” coba ku telepon teman saya…” Ujar Risda kemudian.
“Nomor yang anda tuju sedang diluar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi.”
Begitu sahut operator selular Risda. Arrggh,sial! Pekik Risda. ” Saya yakin ini alamatnya. Pacar saya yang mengirimkannya.” Ujar Risda.
Supir taksi itu menggaruk-garuk kepalanya, ” kapan pacar mbak kirim alamat itu mbak?”
Risda terdiam sejenak,”kira-kira 5 bulan lalu. Ia dipanggil untuk bekerja disini,” jawab Risda.
“Ah baiklah, mungkin rumahnya di dalam gang itu,biar saya cari sendiri. Terima kasih pak,” ujar Risda lagi.
Risda pun segera membayar argo dan keluar dari taksi. Ia melihat ada sebuah toko manekin, karena kelelahan ia bermaksud untuk istirahat sejenak disana dan mencoba untuk menghubungi Donny lagi.
***
Risda membuka pintu utama toko manekin itu. Suasananya suram dan tidak terawat. Hanya ada beberapa patung manekin yang dipajang di beberapa sudut ruangan. Risda memperhatikan beberapa manekin tersebut,”terlihat hidup..” Ujar Risda.
” Permisii,, apakah ada orang?” Sapa Risda. Hening. Tidak ada jawaban. Tidak mungkinkan toko ini ditinggalkan tanpa dikunci,pikir Risda. Risda akhirnya memutuskan untuk mencari penghuninya di ruangan gudang yang tertulis “staff only” . Mungkin tertidur,pikirnya lagi. Perlahan Risda memutar kenop pintu hingga terbuka. Ia tidak menemui siapa-siapa,hanya beberapa manekin yang masih dalam keadaan basah. Risda berdecak kagum,karena manekin-manekin tersebut terlihat sangat hidup. Risda lalu membelai salah satu manekin itu, terasa hangat. Risda kemudian berkeliling di ruangan tersebut.
” Aaaaahhh… Lepaskan aku!” Teriak seorang wanita. Risda terkejut dan segera keluar untuk melihat apa yang terjadi. Terlihat seorang gadis yang diseret oleh pria dengan kasar,gadis itu berusaha melepaskan diri dengan menendang-nendang pria itu.
” DIAM! ” Seru pria itu. Risda kaget,karena pria itu adalah Donny. Ia melihat Donny dengan kasarnya membenturkan kepala gadis itu ke lantai hingga gadis itu terkulai lemas. Risda berusaha untuk tidak mengeluar suara dan menyembunyikan diri disalah satu lemari. Dari celah-celah lemari,ia melihat Donny mengeluarkan isi tubuh gadis itu dan melemparkannya di lantai juga membalsem tubuh gadis itu. Risda terpekik,rupanya manekin-manekin itu adalah manusia yang di balsem. Risda ingin pergi dari tempat itu. Ia tidak percaya,Donny adalah seorang pembunuh darah dingin.
Tiba-tiba ia melihat Donny mengeluarkan HP-nya dengan tangan yang penuh darah.
Tiba-tiba…
” Ada telpon.. Angkat donk,angkat donk,” hp Risda berbunyi nyaring. Risda terpekik,ia berusaha untuk mematikan hp-nya.
” Kau! Apa yang kau lakukan disini?!” Teriak Donny ketika Donny membuka lemari tempat Risda bersembunyi.
“Aa..akkuu.. ” Risda tidak bisa melanjutkan kata-katanya.
” KAU MENGINTAIKU? SUDAH KU KATAKAN! AKU BEKERJA !” Seru Donny lalu mengibaskan golok ke arah Risda.
***
” Lihat! Manekin itu persis kak Risda ya,ma…” Ujar Ria,adik Risda ketika mereka mengunjungi salah satu store untuk berbelanja.
” Jangan bergurau,mungkin kau hanya merindukan kakakmu. Mama harap,ia segera pulang ke rumah.” Ujar ibunda.
“Tidak,ma. Lihat,persis sekali dengan kak Risda…” Protes Ria. Ia merasakan adanya batin dengan manekin yang wajahnya cacat seperti penuh dengan jahitan-jahitan.

ADA SESUATU MENGAMBANG DI TOPLES



Oleh : Paul Jenning
Sumber : http://dufix.wordpress.com/2009/09/15/ada-sesuatu-mengambang-di-dalam-toples/#more-89
aku repost di :  http://mistik.reunion.web.id/5354/ada-sesuatu-mengambang-di-dalam-toples.htm
***
Ada sesuatu mengambang di dalam toples. Sesuatu yang aneh. Sesuatu berwarna abu-abu seperti sepotong daging. Sesuatu yang bau. Sesuatu yang tidak hidup tapi tidak juga mati. Aku sampai bergidik melihatnya. Aku berharap bisa menahan diri untuk tidak melihatnya. Tapi aku tidak bisa.
Anak-anak yang lain pun melihatnya. Semua mata memandang ke arah toples di atas meja.
“Baiklah,” kata guru baru. “Sekarang kalian tulis cerita tentang benda ini”
Terdengar suara mengeluh. Benda di dalam toples itu cuma cara lain agar kami menulis sementara pak guru menghapus papan tulis. Pak guru mungkin membuat benda itu dari kulit binatang atau mungkin sejenisnya.
“Aduh, aku nggak bisa mikir nih” kata Mary Jo
“Aku juga,” kata Helen Chung
Pak guru baru tersenyum. “Baiklah,” katanya. “Saya yang pertama membuat ceritanya. Kalau itu bisa memberi kalian ide untuk menulis. Nah, setelah itu baru kalian yang menulis.”
Ya, kedengarannya sih lebih baik.
Kami bersiap mendengar cerita pak guru. Alih-alih memerhatikan pak guru, kami menatap pada benda di dalam toples. Benda itu mengambang, diam, dan tidak bersuara.
Guru baru pun memulai ceritanya.
***
Trevor tahu kalau laki-laki yang memakai jas putih itu akan mengirisnya dengan pisau. Sebuah pisau bedah. Laki-laki itu akan membedah perutnya dan mengeluarkan usus buntunya.
“Apa yang akan dokter lakukan pada …?” tanya Trevor yang sedang berbaring di meja operasi
“Pada apa?” tanya dokter
“Usus buntuku dan amandelku dan yang lainnya setelah dokter mengeluarkannya.”
“Saya akan membakarnya,” kata si dokter. “Di dalam ruang bakar”
“Aku ingin menyimpannya,” kata Trevor. “Aku tidak ingin dokter membakarnya”
Dokter melihat perawat dari balik maskernya dan berkata sesuatu. Si perawat mengangguk.
“Baiklah kalau begitu,” kata si dokter, kemudian menyuntik lengan trevor. Ruangan pun mulai berputar.
“Bagus,” gumam Trevor, sebelum pandangannya menjadi gelap. “Karena kami harus selalu bersama – aku dan usus buntuku.”

Ketika terbangun dia melihat jahitan di perutnya, dan sebuah toples di samping tempat tidurnya dengan sesuatu mengambang di dalamnya. Meski perutnya terasa sakit namun dia tersenyum. Usus buntunya pasti sudah dikeluarkan. Tapi tidak dibuang.
Dia mengambil toples itu dan memandangnya. “Kamu tidak akan pernah meninggalkanku” dia berkata. “Tidak akan pernah. Kita harus selalu bersama”
Ketika sampai di rumah, Trevor menaruh toples tersebut di dalam sebuah tempat yang menurutnya aman, kemudian pergi ke kamarnya. Dia melepas pakaiannya dan naik ke tempat tidur. Tidak berapa lama dia mulai menutup matanya. Dia mulai terbawa mimpi ketika mendengar teriakan keras yang berasal dari dapur.
Dia berjalan limbung menuruni tangga secepatnya dan menemukan ibunya sedang menatap ke dalam kulkas.
“Ada apa sih?” katanya
“Ibu tidak merasa menaruh usus buntu di dalam situ,” ibunya berkata. “Itu menjijikkan”
“Itu tidak menjijikkan. Itu milikku, bagian dari diriku. Seperti mata dan otakku. Kalau ibu tidak suka usus buntuku itu sama artinya ibu tidak sayang padaku.”
“Tapi kenapa kamu menaruhnya di dalam kulkas” ibu berkata
“Sepertinya tidak berbahaya,” kata Trevor
“Tidak akan berbahaya karena usus buntumu direndam dalam formalin. Cairan itu yang mengawetkannya.”
Trevor melihat usus buntunya di dalam toples. “Mungkin kulkas tempat yang paling baik,” dia berkata. “Benda itu masih bagian dari diriku. Aku tidak akan membiarkan sesuatu terjadi padanya.”
“Tapi tidak di dalam kulkas,” ibunya berkata. “Seseorang mungkin mengira itu manisan dan boleh jadi nanti dimakannya.”
Trevor mengangguk. “Ya, ibu benar,” dia berkata. “Kita tidak bisa menyimpannya dalam kulkas. Tapi ibu yakin itu tidak berbahaya, kan?”
“Ibu yakin,” kata ibunya
“Baguslah,” kata Trevor. “Aku akan membawanya ke sekolah. Aku dan usus buntuku. Kami akan selalu bersama.”
Ibunya hanya menarik nafas panjang dan menganggukkan kepalanya. “Dasar anak-anak,” dia berkata dalam hati.
Kemudian, usus buntunya dibawa ke sekolah. Trevor menaruh toples itu di atas mejanya. Teman-temannya berhenti mengobrol. Tiap mata melihat ke arah toples itu. Beberapa anak menahan nafas. Tapi sebagian besar menatapnya. Mereka terus menatap, menatap dan menatap. Mereka tidak bisa mengalihkan padangan mereka.
Di dalam toples ada sesuatu yang mengambang. Sesuatu yang aneh. Sesuatu berwarna abu-abu seperti sepotong daging. Sesuatu yang tidak hidup tapi tidak juga mati.
Tiap orang begidik, kecuali Trevor.
“Ini usus buntuku,” kata Trevor. “Kemanapun aku pergi, dia bersamaku.”
Anak-anak terkagum. Tidak ada yang pernah melihat usus buntu sebelumnya.
“Kamu sebaiknya menaruhnya di mejaku,” kata pak Birtle. “Tidak ada yang bisa berhenti melihatnya. Dan kita tidak akan bisa belajar kalau caranya demikian.”
Sebenarnya pak Britle-lah yang tidak bisa berhenti melihat isi toples. Dia seperti terhipnotis. “Kamu yakin ini benar-benar usus buntu?” kata pak Britle pada Trevor. “Saya berani sumpah kalau benda itu hidup. Saya pikir saya melihatnya bergerak.”
Semua mata melihat usus buntu itu … benda itu bergerak berputar di dalam cairan kuning.
Pak Birtle berkata pada Trevor. “Coba kamu pergi ke perpustakaan dan ambil buku anatomi,” katanya. “Saya mau melihat seperti apa bentuk usus buntu itu.”
Trevor sebenarnya tidak ingin pergi. Dia tidak ingin meninggalkan usus buntunya. Namun ia pun pergi juga. Dan ketika dia melangkah perlahan menuruni tangga, tangannya mulai terasa berkeringat. Jantungnya berdegup kencang. Kepalanya sakit. Dia ingin balik ke kelas, mengambil toplesnya dan mendekatkan ke wajahnya.
“Kita harus selalu bersama,” dia berkata.
Dia berjalan cepat ke perpustakaan dan mulai mencari buku anatomi.
Di dalam kelas, pak Birtle menarik nafas panjang. Usus buntu itu benar-benar bergerak. Seperti ikan emas yang sedang marah, berputar di dalam toples.
Di perpustakaan, Trevor juga berputar-putar mengelilingi lemari seperti ikan emas yang sedang marah. Akhirnya dia menemukan apa yang dia cari. Dia mengambil buku anatomi dan bergegas kembali ke kelas.
Pak Birtle melihatnya ketika Trevor masuk kelas. “Dia marah,” kata pak Birtle. “Usus buntu itu berenang berputar-putar.”
Trevor buru-buru mendekat ke toples dan melihat kedalamnya. Usus buntu itu hanya mengambang. Tidak bergerak. Wajah pak Britle berubah keheranan. “Tadi begerak,” katanya. “Benda itu berhenti waktu kamu kembali. Coba kamu keluar kelas dan berdiri di sana, Trevor.”
“Aku tidak mau,” kata Trevor. “Aku tidak mau meninggalkannya. Kami harus selalu bersama.”
Pak Birtle mengencangkan bibirnya. “Benda itu juga tidak mau kau meninggalkannya,” katanya. “Pergi dan berdiri di luar pintu – hanya sebentar.”
Trevor melakukannya. Dia meninggalkan kelas dan melihat ke dalam kelas melalui jendela. Tangannya berkeringat. Kepalanya sakit. Jantungnya terasa berat memompa. Dia menatap ke dalam kelas dan menarik nafas panjang. Usus buntunya bergerak berputar di dalam toples. Benda itu melompat-lompat seperti seekor ikan trout di jaring nelayan.
Murid-murid melangkah mundur. Mereka ketakutan. Sesuatu yang aneh terjadi.
Trevor bergegas masuk dan mengambil toplesnya. Usus buntunya menjadi lebih tenang dan mengambang di dalam formalin.
“Kita coba lagi,” kata pak Birtle. “Trevor, saya ingin kamu pergi keluar, ke seberang jalan dan pergi ke toko. Hitung sampai dua puluh dan balik lagi.”
Trevor manaruh toplesnya dan berjalan perlahan keluar pintu. Dia gemetaran ketika berjalan menyeberang jalan. Semakin jauh dia berjalan semakin sakit kepalanya. Dia meremas jari tangannya. Lalu menaruh tangannya di atas dadanya. Dengan langkah gemetar dia berjalan ke toko dan menutup pintu di belakangnya.
Suara gemuruh datang dari dalam sekolah. Tiga puluh orang teriak bersamaan.
Trevor berlari balik secepat kilat, bahkan dia tidak merasa kakinya menyentuh tanah. Dia seperti sedang terbang saat kembali ke sekolah. “Kita harus selalu bersama,” teriaknya
Dia turun di dalam kelas yang sepi. Tapi kelas itu tidak kosong. Semuanya berdiri menghadap ke dinding. Mereka melihat toples tersebut dengan pandangan ketakutan. Bahkan pak Birtle.
Usus buntu itu melompat-lompat di dalam toples, menggedor-gedor tutupnya. Suaranya seperti peluru yang keluar dari senapan mesin. Tutup toples bergetar hebat.
Trevor bergegas mengambil toplesnya. Usus buntunya pun berubah tenang. Benda itu bergerak berputar dalam toples. Trevor tersenyum. Senang.
Pak Birtle melangkah ke depan kelas. “Aku harus menyita benda itu, Trevor,” katanya, mengambil toples itu dari tangannya. “Sesuatu yang aneh terjadi. Ini bisa berbahaya.”
“Baiklah,” kata Trevor “jika itu yang bapak mau” dia berbalik dan berjalan menuju pintu. Kelas pun mulai berteriak panik ketika sekali lagi si usus buntu menggedor-gedor tutup toples.
“Kembali,” teriak pak Birtle. Dia mengembalikan toplesnya pada Trevor
“Terima kasih,” kata Trevor. Si usus buntu bergerak senang. “Kita harus selalu bersama,” kata Trevor.
Sesaat kemudian bel berbunyi dan kelas pun bubar untuk makan siang. “Kamu tunggulah di sini, Trevor,” kata pak Birtle. “Aku akan memanggil kepala sekolah.”
Trevor melihat usus buntunya. “Mereka akan mengambilmu,” dia berkata. “Mereka tidak ingin kita bersama.”
Si usus buntu bergerak naik turun. Sepertinya setuju dengan ucapan Trevor.
Kita harus keluar dari sini,” kata Trevor. “Kita harus selalu bersama.” Dia menggenggam erat toplesnya dan menyelinap turun tangga. Dia berjingkak sepanjang koridor dan pergi keluar. Dia bebas.
Tiba-tiba sebuah tangan menahan pundaknya. Itu adalah pak Birtle dan kepala sekolah.
“Aku akan mengambil benda itu,” kata kepala sekolah, merebut toples itu dari tangan Trevor. Si usus buntu mulai menggedor-gedor tutup toples. Dia bergerak cepat membuat isi toples menjadi keruh.
“Buang benda itu dari sini,” kata pak Birtle. “Benda itu bisa menyerang anak-anak”
“Tidak,” teriak Trevor. “Kembalikan padaku. Kembalikan”
Pak Birtle menahan tangan Trevor sekuatnya. Kepala sekolah berlari membawa toples yang bergetar hebat. Dia melempar toples itu ke kursi belakang mobilnya dan ngebut meninggalkan gerbang sekolah.
“Kembali, kembali,” teriak Trevor. Tapi sia-sia. Usus buntunya sudah menghilang.
Tangan kepala sekolah gemetaran di atas kemudi. Dia melihat ke belakang dan mencoba membuka paksa tutup toples. Tidak lama lagi tutup itu akan terbuka. Lalu apa yang terjadi kemudian? Seluruhnya akan meledak seperti sebuah bom. Dia menginjak pedal rem, lalu mengambil toples itu dan menaruhnya ke trotoar.
Pak kepala sekolah melompat dari mobilnya dan turun ke jalan. Dia berhanti dan melihat ke belakang. Toples itu meledak. Usus buntu itu melompat ke udara, berputar-putar seperti burung mabuk. Kemudian jatuh dan mendarat ke dalam selokan.
Usus buntu itu pun terbebas.
Kembali ke sekolah, Trevor mencoba melepaskan diri dari pak Birtle. Tapi dia terlalu kuat. Meski Trevor meronta seperti hewan liar tapi sia-sia. Dia tidak bisa lepas dari cengkraman pak Birtle.
Tiba-tiba tubuhnya ambruk. Seperti orang mati. Dia jatuh seperti boneka di tangan pak Birtle. Pak Birtle menaruh tubuhnya di lantai, menempelkan telinganya ke dada Trevor, lalu bergegas menuju lemari mengambil handuk.
Trevor melompat dan berlari keluar sekolah. Tipuannya berhasil. Dia bebas mencari usus buntunya.
Dan usus buntunya pun bebas mencarinya. Benda itu menggeliat di sepanjang trotoar seperti seekor tikus basah dan bau.
Tidak ada satu pun orang yang terlihat di jalanan. Hanya seekor kucing. Kucing berwarna oranye yang besar. Kucing itu melihat usus buntu itu. Dengan cepat kucing itu melompat dan mendarat tepat di depan usus buntu. Si usus buntu berhenti. Si kucing membungkuk. Si usus buntu bergerak-gerak. Si kucing medekatinya dan menyentuhnya. Sepertinya cakar si kucing mengenai si usus buntu. Si kucing mengeluarkan suara mengerang tiga kali, “Meong, meong, meong.” Lalu menghilang ke dalam usus buntu, tersedot seperti kain lap ke dalam vacum cleaner dan menghilang begitu saja seperti agar-agar ke dalam sedotan. Si usus buntu berputar-putar sebentar dan kemudian melanjutkan perjalanannya. Ukurannya tidak bertambah besar. Tidak juga menjadi lebih kecil. Tapi dia sudah makan seekor kucing. “Meong, meong, meong.” Si usus buntu meniru suara si kucing. “Meong, meong, meong.”
Si usus buntu berputar di pojok jalan dan berhenti lagi. Seekor anjing menggonggong dan bergerak memutari benda abu-abu itu yang terlihat gemetaran. Tiba-tiba si usus buntu bergerak dan melompat secepat kilat masuk ke telinga si anjing. Si anjing menggonggong kesakitan. Dia mengoyang-goyang telinganya mencoba mengeluarkan si usus buntu. Tapi terlambat. “Guk, guk, guk,” si usus buntu menghisapnya. Anjing itu hilang. Dan si usus buntu masih terlihat kecil, abu-abu dan bau, menggeliat di jalan. “Guk, guk, guk,” bunyi si usus buntu, meniru mangsanya berulang-ulang. “Guk, guk, guk.” Dia sepertinya senang dengan suara anjing itu.
Di seberang jalan si benda abu-abu berlendir bergerak di bawah sebuah mobil dan menuruni saluran pembuangan. Sepertinya dia tahu kemana arahnya. Dia tahu kemana dia pergi. Dia sedang mengarah kepada Trevor.
Sementara itu Trevor terengah-engah, melihat ke belakangnya. Tidak ada yang mengikutinya. Dia sudah melarikan diri. Tapi dia kehabisan nafas. Kepalanya sakit. Tangannya penuh keringat. Tapi dia merasa sedikit lebih baik. Bagaimanapun juga dia tahu usus buntunya sedang bergerak ke arahnya. Dia duduk di pinggir selokan dan menunggu di sebelah saluran pembuangan.
“Skuik, skuik, skuik” Suara kecil. Usus buntu keluar dari saluran pembuangan, masih meniru suara santapannya. Santapan yang didapt di dalam saluran. Seekor tikus besar yang penasaran.
Trevor tersenyum saat melihat usus buntunya. “Kita harus bersama,” dia berkata. Usus buntu itu kelihatan setuju padanya. Dia menggeliat di kaki Trevor, melompat-lompat sampai ke lehernya dan terus naik ke dagunya. Trevor membuka mulutnya lebar-lebar. Dan usus buntunya merayap masuk.
Trevor menelannya. “Kita harus selalu bersama,” dia berkata. Dan mereka pun bersatu kembali.
***
“Dan itulah akhir ceritanya,” kata guru baru.
Semua anak-anak di dalam kelas menatap toples di atas meja. Benda abu-abu itu begerak perlahan di dalam air berwarna kuning.
“Apa yang kalian pikirkan?” tanya guru baru.
Anak-anak merasa mual. Ceritanya sih bagus tapi tidak menyenangkan. Semuanya bertepuk tangan perlahan bersamaan dengan bunyi bel. Kemudian, semuanya pergi keluar untuk makan siang tapi tidak ada yang berani mendekat pada benda abu-abu mengerikan di dalam toples.
Aku menunggu sampai mereka keluar semuanya. Aku ingin bicara pada guru baru mengenai ceritanya.
“Ada satu yang salah dalam cerita itu,” kataku
“Ya?” kata guru baru
“Kalau usus buntu itu ditelan Trevor,” kataku, “bagaimana benda itu bisa berada di dalam toles di meja bapak?”
Guru baru menggaruk dagunya. “Kamu mungkin benar, “dia berkata. “Ini sedikit kelemahan dari cerita itu. Tapi aku tidak akan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.”
“Kenapa tidak?” tanyaku
“Terlalu mengerikan,” katanya
“Bapak bisa ceritakan padaku,” kataku
“Ma’af,” katanya. “Tapi bagaimanapun juga kamu tidak akan percaya padaku.”
“Ini-kan cuma cerita,” kataku. “Iya, kan?”
“Iya, kan?” kata pak Birtle. Dia tersenyum padaku dan pergi makan siang.
Aku melihat benda di dalam botol. Benda itu memang aneh. Aku berpikir benda apa itu. Aku mengambil toplesnya. Benda di dalamnya perlahan bergerak. Benda itu seperti sepotong kulit yang sudah membusuk.
Aku memutuskan membuka tutupnya dan berharap keberuntungan. Tutupnya rapat. Aku tidak bisa memutarnya. Aku membuka laci meja pak Birtle dan menemukan kain lap. Aku putar tutup toples itu dengan kain lap dan tutupnya mulai bergerak. Aku memutarnya sampai terbuka.
Aku melihat ke dalam toples. Sepotong daging berlendir yang terdiam.
Tidak pada awalnya.
Lalu, dengan perlahan dan mengerikan, benda itu keluar dari toples. Benda itu mengeluarkan suara sama seperti santapan teakhirnya.
“Kita harus selalu bersama,” benda itu berkata. “Kita harus selalu bersama”
***

THE DOOR

 

Source : FB Misteri dan Urband Legend

Edited by Me 

***
Aku diadopsi, aku tidak pernah tahu siapa itu Ibu asliku. Aku pernah mengetahuinya sekali dulu saat ia meninggalkanku. Ketika aku masih terlalu kecil untuk mengingat. 

Itu tak penting lagi, karena sekarang aku sangat mencintai keluarga yang mengadopsiku. Mereka sangat baik terhadapku. Aku makan dengan baik, tinggal di tempat yang hangat dan aku bisa begadang sampai malam.

Baiklah, aku akan menceritakan tentang keluargaku dengan sangat cepat.

INDIGO

Sumber : http://dheyl14getflashback.blogspot.com/2012/12/indigo.html
***

Gelap. Hitam. Tak ada setitik sinar yang dapat aku lihat. Ya Tuhan, aku ingin menangis. Ada apa denganku? Di mana aku? Mengapa ini terjadi? Aku mebelalakkan mataku selebar mungkin. Selebar-lebarnya, sebesar-besarnya. Tapi tetap saja, sinar itu tak kunjung datang. Masih gelap. Hitam. Dan akhirnya aku tahu, aku kini bukan aku yang satu jam yang lalu. Aku kini berbeda. Aku buta.
Terdengar bisikan di sebelah kiriku.

“Salsa, kamu sudah bangun, Nak?” Aku tahu, itu suara Mama. Aku balas sapaannya,” Mama? Mama. Salsa..Salsa..gelap Ma, gelap..” aku hanya bisa berkata seperti itu. Begitu banyak pikiran dan pertanyaan berdesakkan memenuhi otakku. Aku tak tahu mana dulu yang harus aku ungkapkan.
“Sayang, katakana pada Mama ada apa? Apa yang terjadi, Nak?” tanya Mama. Aku rasakan dan aku dngar, Mama kini mulai khawatir dan kebingungan. Aku mulai menjawab dan aku mulai menangis, aku tak kuasa menahan batu berat yang sedari tadi menikam jantungku.
“A, aku…aku…aku enggak tahu, Ma. Aku enggak bisa lihat apa-apa, hitam, Ma. Glap. Aku buta , aku buta..” teriakku sambil menangis tersedu-sedu. Tak tahu kenapa, hatiku begitu sakit. Tapi sedikit tersirat di palung hatiku yang terdalam, aku bahagia.
***
Aku. Salsabila Betana. Aku adalah seorang indigo. Kamu tahu indigo itu apa? Huh. Aku yakin, tak ada satu manusia di pelosok dunia mana pun yang mau menjadi seorang indigo. Aku dilahirkan dengan dua buah mata yang indah. Ya, mataku cokelat indah. Banyak orang yang bilang aku begitu beruntung dengan mata indahku ini. Hah. Omong kosong. Orang lain tak pernah merasakan betapa tersiksanya aku dengan indra penglihatanku ini. Kamu tahu apa? Aku begitu tersiksa dengan segala sesuatu yang dapat aku lihat di sepanjang hidupku ini. Sesuatu yang ketika kamu melihatnya, kamu akan mencoba untuk mencongkel matamu agar kamu tak perlu melihat sesuatu yang keteika kamu melihatnya, membuat kamu tahu yang lain. Membuat kamu gila. Membuat kamu ingin mati. Mengetahui kehidupan di dunia selain dunia manusia. Aku bisa melihat pula. Aku bisa melihat kematian seseorang. Aku seorang yang tak pernah mengrti apa itu arti hidup dengan semua yang ada.
Kali pertama. Saat umurku masih genap empat tahun yang indah, yang dipenuhi bermilyar-milyar bintang, aku mengucek mata karena ngantuk. Sudah setengah jam lamanya di atas sofa empuk sambil menonton TV dan mengunyah roti tak habis-habis. Semua keluarga sedang berkumpul di ruang keluarga dan bercengkrama riang penuh dengan tawa. Mama, duduk dekat Papa sambil bercanda menggoda Kak Alfa yang katanya, saat itu sudah punya pacar. Sungguh suasana yang sangat mengasyikan. Namun, tiba-tiba…

Jantungku berdetak begitu keras ketika…aku tak tahu apa itu. Bayangan, atau memang sebuah wujud, hitam, besar, menghalangi pandanganku. Ia berdiri di depanku. Saat itu aku hanya bisa melihat kakinya yang begitu besar, yang hitam legam. Aku angkat kepalaku sampai menengadah. Ya Tuhan… makhluk ciptaanmu itu sungguh besar sekali. Aku lihat, ia berdiri di depanku menembus atap rumahku. Ia tinggi sekali, aku tak bisa jelas melihat wajahnya yang mungkin, sejajar dengan ujung tiang listrik.
Detik itu, tak ada lagi yang bisa aku lakukan. Aku membatu sambil menggenggam roti, menengadah, membelalakkan mata dan menganga. Badanku sedikit bergetar. Aku begitu ketakutan. Makhluk itu tak kunjung pergi. Ia sebenarnya mau apa? Aku menangis. Hanya mengeluarkan air mata dengan ekspresi dan posisi tubuh tetap membatu. Saking takutnya, aku hampir tidak bisa bernafas.
Aku merasakannya. Mama dan Kak Alfa mengguncang-guncangkan bahuku keras-keras. Percuma. Tak membuatku bergrak sedikit pun. Masih menggenggam roti, menengadah, membelalakkan mata, dan menganga. Aku dengar, Mama menangis. Papa bolak-balik bingung, tak tahu harus melakukan apa. Kak Alfa berdoa, mulutnya komat-kamit tak karuan. Aku, masih memandang makhluk besar hitam dihadapanku dan terus mengalirkan air mata.
Tiba-tiba, makhluk itu bergerak, bergerak maju, mendekatiku. Semakin aku membatu, hanya jantungku saja yang bergerak, berdetak begitu kencang. Dan..ia, makhluk itu menembus tubuhku. Membuatku harus terloncat jatuh ke pelukan Mama. Makhluk itu pergi, ia tiba-tiba menghilang. Tak tahu kemana. Aku sadar kembali. Aku bisa bernapas lega kembali, walau agak ngos-ngosan. Dan sejak saat itu, aku tahu, aku bisa hidup di dunia selain dunia manusia. Setelah Papa memanggil seorang paranormal hebat, aku semakin yakin, aku adalah seorang indigo.
***
Pernah saat itu, aku tak tahu harus menyebut pengalaman apa ini. Seram atau lucu. Dulu, kira-kira lima tahun yang lalu, ketika aku masih duduk di bangku kelas dua SMA. Aku dan teman-temanku mengadakan tamasya ke pantai Losari, Makassar. Di sana, aku menginap di sebuah villa bergerbang tinggi. Villanya begitu besar dan megah. Murid-murid tidur di lantai dua, sedangkan guru-guru tidur di lantai satu.
Tiba-tiba ketika bulan menampakkan utuh wujudnya. Bulat. Putih. Tengah malam Senin itu jauh lebih menyeramkan dari malam-malam yang pernah aku lalui sebelumnya. Di sisiku tidak ada Mama, Papa atau pun Kak Alfa. Aku, hanya teman-teman sebayaku saja, yang tak bisa seutuhnya melindungiku. Aku tidur di atas ranjang kecil di sisi sebuah jendela yang langsung memaparkan keindahan pemandangan pantai Losari. Udara malam itu begitu dingin. Sedingin selimut tipis yang kini membalut tubuhku. Perlahan-lahan aku pejamkan mataku. Tak membutuhkan waktu yang lama, aku tertidur. Pulas. Begitu lelap.
Aku bermimpi, aku sedang ada di sebuah pemakaman. Semua orang menjerit-jerit dan menangis begitu oilu. Ada seseorang yang meninggal. Aku tak kenal siapa orang itu. Aku berdiri di belakang seorang bapak botak berkaca mata. Aku menyelinap, dan aku berhasil membuatnya berada di belakangku. Ternyata bapak botak itu berdiri paling depan, di depan nisan. Saat itu aku baru bisa membaca nama orang yang meninggal itu. Namanya…kurang jelas. Namun aku bisa lihat tahun kelahirannya, 1986. Aku masih bingung, mimpi apa aku ini. Sempat, aku menengok ke jasad yang telah dikafani dan telah dijatuhkan ke tanah itu, mayatnya seorang wanita. Cantik.
Tiba-tiba gelap, episode di mimpiku itu telah berakhir. Aku terbangun, tapi masih menutup mata. Aku tersentak. Hah. Aku bilang saat itu, “Hanya mimpi,” dan aku menarik napas dalam-dalam dan kembali menghembuskannya. Perlahan-lahan aku buka kelopak mataku, aku ganti posisi tidurku yang tadinya menghadap ke depan, menjadi ke kiri, ke arah jendela. Dan, ketika aku membuka mataku,
“Aaaaaaarrrrrgggghhhhh!!!” jeritanku membangunkan seluruh penghuni kamar. Aku melihat seorang wanita tersenyum di balik jendela. Wanita itu melayang dengan mengenakan baju putih gombrang compang-camping, dengan rambut acak-acakan, hitam dan panjang. Wajahnya bersimbah darah. Ia tersenyum padaku, namun ia kembali melayang pergi, sambil tertawa cekikian. Tawanya begitu menyeramkan, membuatku jadi bergidik. Ia pergi sambil melambaikan tangannya padaku. Hah. Lucu.
Dua hari setelah kejadian itu, aku menonton TV di rumah ketika aku baru saja pulang dari tamasyaku. Aku memutar-mutar channel tak henti. Aku cari siaran yang menarik dan sampailah di berita criminal. Aku lihat di sana, ada berita telah dibunuhnya seorang gadis kelahiran tahun 1986. Disiarkan pemakaman gadis itu. Kameramen berada di belakang seorang bapak botak berkaca mata, kamera menyelinap ke depannya, dan mulai men-shoot nisan. Nama si korban pembunuhan tidak terlihat jelas, hanya tahun kelahirannya yang bisa tergambarkan, 1986. Kamera kembali menyoroti si jenazah. Jenazah seorang wanita. Cantik.
Ya. Itu kelebihanku. Aku nisa melihat masa depan, aku bisa melihat kematian seseorang. Si kuntilanak, yang menampakkan wujudnya di depan jendela kamar villa yang aku inapi, adalah roh gadis yang meninggal itu. Ia meminta bantuan padaku. Namun apa daya, aku tak bisa lakukan apa-apa.
***
Sebelah mata yang melayang, kaki yang berjalan di atas tangga, tangan buntung yang meraba-raba, kepala yang tergantung, bayangan di kaca, kuntilanak, pocong, genderewo, hah, capek. Semua itu adalah teman-temanku. Melihat kematian kakekku, si A, si B, si C. Semua itu adalah kebiasaanku. Setiap hari pasti aku melihat satu penampakkan, lumayan, aku lumayan terbiasa, walau aku masih tidak bisa menghilangkan rasa takutku. Wajar kan? Wajar kan aku takut? Ya, siapa sih orang yang tidak takut jika setiap harinya ia harus berkomunikasi dan hidup di dunia yang bukan dunianya, hidup di dunia gaib.
Tapi, kini aku brsyukur. Tuhan mendengar doaku. Setiap hari, ketika aku telah melihat sesuatu, aku selalu meminta kepada Tuhan.
Tuhan, apa ini jalan hidupku? Hidup di tengah-tengah kehidupan dua alam? Hidup di kehidupan nyata dan maya? Hidup di tengah-tengah kaki yang berjalan sendiri, hidung yang melayang, kepala tanpa wajah? Tolong Ya Tuhan, aku ingin semua ini berakhir dengan cepat. Aku ingin hidup normal. Aku ingin seperti orang biasa yang hidup tenang. Apa manfaatnya aku seperti ini? Tolong Ya Tuhan, tolong ambil mataku, agar aku tak melihat semua yang aku lihat saat ini. Tolong, aku ingin kau ambil mataku saja, Ya Tuhan!
Mungkin, kini Tuhan sedang mengabulkan semua doaku. Ya, aku buta. Aku kini tak akan pernah melihat lagi makhluk-makhluk menyeramkan itu. aku kini tak akan pernah melihat lagi pertanda kematian orang lain. Aku kini akan hidup tenang, damai, walau hanya hitam yang menghiasi hari-hariku.
***
Kemarin
Di lalu lalang kota Jakarta yang begitu ramai. Aku sendirian mengendarai sepeda motor bututku. Map-map tebal aku simpan di tas yang terdiam rapi di punggungku. Map-map itu adalah map lamaran kerjaku. Kini aku harus segera mendapatkan pekerjaan. Umurku sudah 22 tahun. Sarjana sudah menjadi gelar baruku. Malu jika aku masih saja duduk nganggur di rumah dengan hanya mengandalkan gaji Papa.
Di jalan, aku kencangkan ikat kucirku, aku rapikan kaos oblong merah gombrang dan aku ikat tali sepatu. Aku sudah siap dengan hari ini. Ketika aku sedang ngebut mencari lokasi tempat aku harus melamar, hmmm, tiba-tiba sebuah tangan mengelus pipiku. Tangan itu berasal dari makhluk yang kini duduk di belakangku. Anak kecil. Ya, anak kecil perempuan kurus pucat. Dia berkata padaku, “Kak, kakak tolong anterin saya ke sekolah, ya! Ibu saya jahat Kak, ibu saya enggak mau nganterin saya ke sekolah. Anterin saya Kak!” anak itu berbisik begitu lembut di telingaku. Aku kaget. Aku hilang kendali.
Kemarin, adalah hari yang tak akan pernah aku lupakan seumur hidupku. Hari yang menjadi hari akhir aku hidup sebagai seorang indigo.
Aku banting stir motor ke kiri. Salah, motor menabrak trotoar dan sebuah gerobak sampah. Aku terlempar dari motor, aku sempat melayang beberapa detik, kepalaku menabrak sebuah tiang, aku jatuh, aku tumbang. Dan terakhir, sebuah batu yang ukurannya tidak begitu besar dan tidak terlalu kecil, tak tahu darimana asalnya, jatuh, menimpaku, pas, membentur mataku.
Itulah, kejadian kemarin. Kejadian yang membawaku ke rumah sakit ini. Kejadian yang membawaku ke akhir penderitaanku. Aku kini buta. Tak ada lagi hantu-hantu dan penampakkan yang bisa aku lihat. Walau hanya hitam, tapi kini kedamaian sudah aku miliki. Tapi tunggu, aku mendengar sesuatu.
“Kakak, ini aku kak…Kakak kenapa enggak nganterin aku ke sekolah? aku di sini Kak, di sebelah Kakak. Kalau Kakak tetap tidak mau mengantarku, aku akan tetap di sini bersama Kakak,” bisik seorang anak kecil. Diam. Aku terdiam. Aku menelan ludah. Aku tak bisa melihatnya. Tapi, aku masih bisa mendengar, merasakannya. Semua itu. mimpi buruk itu, ternyata belum sepenuhnya terlepas dan binasa dariku. Aku. Apa aku masih bisa dibilang seorang indigo?
“Aaaaarrrggghhh!” aku menjerit sejadi-jadinya.

PESAN DI PADANG ILALANG





=======

Di kantor polisi, seorang Ibu berpenampilan menarik melaporkan anak laki-lakinya yang telah menghilang sejak dua hari lalu. Tidak ada jejak dan tidak ada kabar berita. Semua temannya—sebenarnya si anak tidak mempunyai banyak teman karena sifatnya yang penyendiri dan cenderung menutup diri, telah dihubungi tapi hasilnya nihil dan tidak ada satu pun teman kampusnya yang mengetahui tentang keberadaannya.


Kecuali di pagi hari ketika anaknya tersebut menghilang, seorang pembantunya menemukan sebuah digital voice recorder di halaman depan rumahnya, tepat di bawah jendela kamar si anak. Kata si Ibu, anaknya itu mempunyai hobi menulis. Ia suka menuliskan tentang apa saja yang ditemuinya dan hal-hal yang disukainya di blog pribadinya. Jadi ia meminta hadiah alat perekam suara itu pada Ayahnya yang seorang pelaut dan telah berpisah dengan mereka sebagai hadiah ulang tahunnya yang kedelapanbelas dua bulan lalu, supaya ia tidak lupa merekam dan mencatat ide apa saja yang melintas di kepalanya. Ayahnya mengirimkannya seminggu setelah hari ulang tahunnya disertai kartu ucapan selamat bergambar kota London.

LICK


🔥Sumber : http://mistik.reunion.web.id/4272/lick.htm

🔥Edited by Me
====

Suatu hari seorang gadis remaja ditinggal oleh orang tuanya yang akan menginap di tempat saudara mereka. Sang gadis meyakinkan orang tuanya untuk berhenti khawatir kepadanya. Ia akan mengunci semua jendela dan pintu.
Lagipula gadis itu tak sendiri, ada anjing setianya yang menemaninya di kamarnya.

Malam itu, sang gadis hendak tidur. Ia mengunci semua pintu dan jendela. Namun ada sebuah jendela yang tak bisa ia kunci. Akhirnya ia hanya menutupnya begitu saja.

KOSONG



🌸 Source : http://mistik.reunion.web.id/4206/kosong.htm
🌸 Edited : Me (Karena banyak typo dan pemenggalan kata yang kurang tepat, tapi tidak merubah isi cerita)
===


Aku selalu bangun pagi-pagi sekali untuk bersiap-siap pergi bekerja. Dan aku biasa pergi ke kantor sekitar pukul 4 atau 5 pagi, maka dari itu aku sering berteman kesunyian dan ketenangan dalam mengawali kerjaku.

Ketenangan adalah suara dengugan dari lampu jalan. Ketenangan adalah nyanyian pertama burung dipagi hari ketika matahari belum sepenuhnya terbit. Ketenangan adalah pekikan terakhir dari rubah sebelum mereka kembali ke tempat persembunyian mereka. Ketenagan adalah belaian hangat dari angin. Ketenangan adalah berjuta-juta hal-hal yang tidak perlu kau perhatikan.

Tetapi kesunyian tidak termasuk dalam kategori ini. Kesunyian adalah sesuatu yang perlu diperhatikan.
 

Diary of Queen Gietha Copyright © 2011 Girl Music is Designed by Ipietoon Sponsored by web hosting