Review Ayame (calon istri Koga dari klan youkai serigala utara)


Masih ingat Koga kan? Si ganteng dari klan youkai serigala rival nya Inuyasha yang sama-sama naksir Kagome? Yup. Ternyata Koga yang patah hati ditolak Kagome memutuskan untuk "mengikhlaskan nya" bersama Inuyasha dan ternyata jauh sebelum dia kenal dengan Kagome dia telah berjanji menikahi seorang gadis kecil. Eh? Kok bisa? Siapa dia? jawabannya... Ayame. Siapa sih Ayame?

Camellia Flower's (赤い椿) - FanFict Sesshomaru Rin




credit by : zephyrus 123

https://m.fanfiction.net/s/11077446/1/%E8%B5%A4%E3%81%84%E6%A4%BF


Lemari kecil Rin tidak lagi mampu menampung kimono yang entah sejak kapan telah tergeletak di kamarnya. Kimono kali ini didominasi warna merah dengan motif bunga kamelia. Obi putih polos terlipat rapi di atasnya. Jemari Rin menangkap perbedaan pada pakaian itu, terasa lebih halus dan lembut, tidak seperti biasanya. Bertahun-tahun kemudian, barulah ia tahu bahwa kimono-nya dipilin dari sutra asli.
Sudah sekian kimono yang diberikan Sesshoumaru, namun ia tidak pernah sekalipun bertemu dengannya. Kedatangan Sesshoumaru tidak pernah pasti. Hanya hadiahlah yang menyatakan bahwa daiyoukai itu baik-baik saja dan terus mengembara.
Kimono barunya ia rengkuh ke dada, seberkas kehangatan dari tangan tuannya masih berkilas. Rin memandang jauh ke arah jendela yang terbuka. Tidak ada Sesshoumaru di sana. Ia ingin bercerita, sama panjangnya dengan penantiannya. Ada emosi lain yang cukup baru baginya. Bermunculan begitu saja ketika ia membuka mata pertama kali pada usia yang ketujuh belas tahun, beberapa bulan setelah kimono kamelia diberikan. Satu per satu datang tanpa ia mengerti. Semakin berat dan berat, hingga tidak mampu lagi tertahankan. Dalam tiga tahun kemudian, matang sudah emosinya. Ia pun keluar dari cangkang, berubah menjadi wanita dewasa yang terus berdoa untuk Sesshoumaru.
Sejak ditinggal Sesshoumaru di desa, ia hanya menangis sekali. Baginya Nenek Kaede sama berharganya dan hanya ialah yang dengan setia menerjemahkan setiap perasaan elusif Rin. Sayangnya, neneknya telah berangkat dengan membawa segala kebahagiaan Rin yang tidak pernah sempurna lagi.
Ia begitu terluka. Namun Sesshoumaru tidak pernah lagi datang menolongnya, sejak kimono kamelia ia terima, tiga tahun lalu.

"Rin, aku membawakan tanaman herbal untukmu."

Rin tersentak dari lamunan kosongnya sebelum kemudian melipat kembali kimono berharganya. Kohaku telah berdiri diambang pintu dengan sebuah anyaman keranjang di tangannya, segaris senyuman memintal. Kirara memanjat naik hingga ke bahu tuannya.
Rin tidak pernah mengingat pernah menyuruh pemuda itu mencarikan sesuatu untuknya. Namun ia cukup sadar bahwa apa yang dilakukan Kohaku datang dari kehendaknya sendiri.

"Terima kasih, Kohaku."

Sejak mendengar kabar Nenek Kaede telah meninggal tiga bulan lalu, Kohaku segera memutar haluan Kirara. Meluncur secepat angin hingga ia tidak mungkin melewatkan prosesi pemakaman. Itulah untuk pertama kalinya ia melihat Rin menangis kencang hingga rasanya begitu menusuk hatinya. Setelahnya, ia menjadi sering pulang ke desa untuk menghampiri Rin setidaknya seminggu sekali.
Kedatangan Kohaku selalu diikuti dengan tanaman herbal, dan ia sering mendapati Rin sedang memeluk kimono merah, dalam kesendirian yang menyesakkan. Ia tahu pakaian itu datang dari Sesshoumaru, Nenek Kaede pernah bercerita.

"Kau semakin pucat. Apa kau yakin masih baik-baik saja?"

Rin bangkit dari duduknya. "Mungkin wajahku memang pucat, tapi percayalah, aku baik-baik saja." Ia mencoba tersenyum.
Kohaku bukan anak kecil lagi yang dapat dibohongi dan dikendalikan. Ia pun sama dewasanya dengan Rin. Namun dengan kedewasaannya, ia tetap tidak dapat mengisi sudut kosong di hati gadis itu.
Perasaannya telah ditolak tiga kali, namun inisiatifnya terus mengunjungi Rin melebihi keegoisannya untuk memiliki gadis itu. Keberadaan Rin lebih berharga daripada hatinya yang terus tertikam. Untuk saat ini dan seterusnya, ia tidak ingin gadis itu bersedih, meskipun ia tahu kehadirannya tetap tidak dapat menggeser sedikit pun posisi Sesshoumaru.
Kohaku bergerak mendekat setelah meletakkan keranjangnya di meja. Rin terkesiap ketika kedua telapak tangan kokohnya terpaku pada bahu ringkihnya.

"Aku tidak memintamu untuk melupakan Sesshoumaru, tapi aku tidak suka melihatmu begini." Rin yakin ia tidak dapat menatap mata Kohaku lebih lama lagi, namun kalimat pemuda itu tetap menahannya. "Aku tidak masalah kalau kau masih menginginkan Sesshoumaru, kau tidak perlu membuka hatimu untukku, aku hanya ingin kau tidak lebih buruk dari keadaan buruk apa pun. Kau harus kembali seperti dulu, pada Rin yang seharusnya!"

Kohaku mengingatkannya pada dasar danau di pegunungan yang dapat terlihat dari permukaan air, begitu jernih dan tulus, tidak ada yang cacat dari perasaannya. Seharusnya Rin bisa membukakan sedikit saja hatinya untuk Kohaku.
Rin ingin kembali kepada dunianya yang gelap, pada dirinya yang bisu; pada apa pun yang membuatnya tidak pernah mengenali Sesshoumaru.

"Jika aku menerimamu, kau akan kecewa melebihi kekecewaanmu pada penolakanku."

"Selagi kau tidak apa-apa, aku dapat menerima kekecewaan seberat apa pun."

Sungguh, ia bersedih pada hati Kohaku yang dapat begitu tulus dan polos. Rin pun tidak dapat membalas dengan kata lain selain, "Maaf."


***

Mengawasi dari sebongkah pohon tinggi, Kohaku selalu menemukan Rin memandang jauh pada cakrawala, melamun bersama sejumput tanaman herbal di tangannya yang kaku. Matanya tidak memancarkan kehidupan, hanya berpaku pada satu titik hingga waktu yang lama. Rin sempurna telah kehilangan kebahagian berharga yang tersisa. Dan sekarang, pikirannya terus mengembara pada Sesshoumaru yang entah di mana.
Dalam perjalanan pergi dan pulangnya, Kohaku selalu bertanya tentang Sesshoumaru pada siapa pun yang ia temui. Jawaban yang diberikan tidak begitu membantunya. Daiyoukai itu tidak meninggalkan jejak, ia hidup bersama bisikan angin dan lenyap dalam keheningan.
Dan Kohaku bersumpah tidak akan pernah melupakan hari ini, bahkan ketika umur rentanya nanti memakan semua ingatannya. Sesshoumaru muncul dari arah belakang Rin. Gesekan lembut rumput yang dihasilkan tidak juga membangunkan Rin dari dunia hampanya. Di saat yang sama, pemuda itu tidak dapat memilah rasa senang dan sedih. Keduanya bercampur hingga menjadi satu rasa yang begitu elusif.
Sesshoumaru berhenti bersama rerumputan yang juga termangu dari gerakan menampar-nampar ujung pakaiannya. Ia memandang dari jarak sepuluh meter atas figur Rin yang jauh berubah. Gadis itu telah matang, dan untuk pertama kalinya daiyoukai itu ragu untuk kembali memajukan langkahnya.
Ia lantas berpaling pada keranjang setengah penuh yang tergeletak tidak begitu jauh darinya. Dengan gerakan tanpa ekspresi, ia mengeluarkan bunga kamelia merah yang ia petik saat di perjalanan lalu menatap jauh pada Rin.
Kimono terakhir yang ia berikan, tanpa siapa pun tahu, telah membuatnya tergeming cukup lama. Sesshoumaru dapat merasakan bahwa anak itu terus tumbuh tanpa dapat semesta kendalikan. Dan tanpa dapat dikendalikan pula, ia merasakan denyutan ganjil pada hatinya. Semakin lama semakin membuat pikirannya lumpuh.
Setelahnya, ia mencoba untuk menghindar, berharap apa yang dirasakannya dapat dikikis oleh waktu. Namun sebelum ia benar-benar mengembara lebih jauh, ia sadar tidak dapat melakukannya; Rin telah mengambil sebagian hatinya.
Sesshoumaru menarik kembali tangannya ketika akan meletakkan bunga itu di keranjang. Ia lagi-lagi ragu atas tindakannya. Ia cukup sadar untuk membuat Rin dapat berkehidupan sebagaimana manusia normal seharusnya.

***

Seperti ada suara familier yang mendesahkan namanya, Rin segera memalingkan wajahnya. Rambut hitam panjangnya meliuk sigap bersama antusiasme yang sempat membumbung sebelum kembali padam bersama dengan rasa kecewanya.
Tidak ada siapa pun di belakangnya. Keranjang yang ia letakkan masih tetap tergeletak di tempat yang sama.
Rin menggelengkan kepalanya dengan lemah, wajahnya semakin terlihat memucat. Tidak mungkin Tuan Sesshoumaru, Rin mendesah.

Ia pun semakin terpuruk.

***

Hari mengejar minggu, minggu mengejar bulan, dan bulan pun telah berada di gerbang musim gugur. Bukan sekali Kohaku datang padanya, mengatakan bahwa ia melihat Sesshoumaru.
Awalnya semangat Rin muncul. Ia kembali percaya bahwa apa yang dirasakannya berbulan-bulan lalu memang benar. Tapi seiring waktu berputar, ia dapat melihat kekosongan dalam setiap kepercayaannya. Dan kembali terpuruk pada perputaran yang sama.
Kohaku pun peka untuk tidak lagi membahas Sesshoumaru. Apa yang dibutuhkan Rin sekarang bukan hanya sekadar cerita belaka. Ia benar-benar membutuhkan kehadiran nyata daiyoukai itu, tepat di depan matanya yang mulai meredup.

Malam itu cukup dingin bagi penduduk desa. Jendela-jendela ditutup lebih cepat dari sebelumnya. Aroma arang pun kentara menguar pada udara malam yang melayang membisikkan rasa dingin.

Rin membuka lemari ditemani sebatang lilin yang hampir habis sumbunya. Diraihnya kimono kamelia yang belum pernah ia kenakan sama sekali. Berbinar takjub pada keindahan pakaian di depannya, Rin perlahan mulai memasangkannya pada tubuh. Seandainya ia punya cermin, ia tidak akan percaya dapat mengenakan kimono semahal itu.

Dengan cahaya lilin yang mulai meredup, ia kuatkan tungkainya untuk melangkah menyusuri pohon-pohon tua penuh rahasia. Kakinya yang langsung mencumbui bumi tidak ia hiraukan terluka. Rasanya hanya kebas, kebas, dan kebas. Sebentar lagi hatinya akan menyusul.
Ketika Rin tiba di sebuah tebing, lilinnya telah padam. Tebing itu sangat tinggi hingga jutaan konstelasi cahaya yang saling bertalian mengejar batas nadir di atasnya pun tidak mampu menembus pekatnya kehampaan gelap.
Tangannya bergerak lemah memeluk tubuh, memeluk kimono merah menyalanya. Memang sudah bertahun-tahun, namun ia masih dapat merasakan sentuhan yang Sesshoumaru tinggalkan pada pakaiannya. Biarlah untuk malam ini, Rin merasa berpuas hanya dengan sentuhan yang coba diciptakan oleh sudut imajinernya.

Dengan mata terpejam, kakinya berlari, lalu menapak vakum. Dan hening—

***


Entah apa yang membuat daya imajinernya mampu bertahan bahkan setelah ia manyatakan dirinya telah berada di dunia sana. Ia dapat merasakan sesuatu yang hangat memeluk dirinya dengan nyata. Bahkan aroma yang menari pun tidak lagi datang dari asap-asap hangat rumah penduduk, melainkan dari aroma nostalgia yang membangkitkan kembali memori-memori lalunya.

Ketika ia membuka mata, hal pertama yang ia lihat adalah jutaan cahaya bintang yang membelai wajah pucatnya. Sebelum ia sadar yang memeluknya adalah sosok yang membuat hatinya mengembara tanpa tujuan, Sesshoumaru.

"Kau hampir mati."

Kalimat itu masih diucapkan dengan nada dingin. Rin berani bersumpah bahwa ia belum pergi menemui Nenek Kaede. Lantas ia merengkuh erat leher tuannya, dan Sesshoumaru pun masih terbang dengan memeluk sebagian hatinya.

Dalam diam, Rin tidak lagi memandang hampa pada langit polos. Sesshoumaru telah mengantarkannya pada bintang-bintang yang tidak pernah berkedip seindah sekarang. Kisah panjang penantian yang ingin ia ceritakan, satu per satu menyabur dan melebur dalam satu kalimat: "Aku merindukanmu, Tuan Sesshoumaru."

***

Mereka mendarat di tepian desa. Jaken tidak banyak berubah dari terakhir kali mereka bertemu, masih tetap angkuh terhadapnya. Sedangkan A-Un tampak senang ketika Rin memeluk masing-masing leher mereka. Perintah Sesshoumaru membuat Jaken pergi bersama A-Un. Aku akan menyusul, itu yang dikatakan selanjutnya.

Namun Rin tidak mau melepasnya begitu saja. Tidak, setelah ia harus tersiksa dengan penantiannya.

"Kau harus hidup bersama manusia."

"Aku sudah hidup bersama mereka bertahun-tahun lamanya."

"Lebih lama lagi."

"Tapi aku merasa duniaku bukan di sini, Tuan…." Rin menggigit bibirnya, terlalu pahit untuk diucapkan.

Sesshoumaru tidak menjawab. Dari cahaya api unggun yang sudah dinyalakan Jaken sejak awal, membuat daiyoukai itu dapat melihat Rin secara utuh dan jelas. Seluruh kulitnya memucat, hampir menyamai dirinya. Rambut hitam panjang terurai tidak lagi masai seperti sebelumnya. Iris kecokelatannya menampilkan binar kesedihan dan kebahagiaan yang pernah terlupa. Lalu pada kimono kamelia pemberiannya, terlihat begitu padu dengan keindahan Rin yang sempat terselubung.

Di balik wajahnya yang tidak beriak, Sesshoumaru menyimpan ketakutan dan kesedihan terpendam. Gadis itu baru saja akan mengakhiri hidupnya, ia takut jika itu benar-benar terjadi, dan ia akan bersedih sepanjang masanya. Ibunya bilang, itulah cinta. Walaupun ia ingin menampiknya, namun kalimat itu terus menggantung di hati. Cinta yang bagi Sesshoumaru hanya dapat ia ungkapkan melalui kimono bermotif bunga kamelia merah.

Rin menautkan jemarinya pada jemari tajam Sesshoumaru. "Aku ingin terus bersama Tuan Sesshoumaru. Aku mohon jangan tinggalkan aku sendiri—lagi."

Sesshoumaru masih geming. Rin masih menggumamkan kalimat yang sama, berulang-ulang hingga burung yang tertidur pun dapat merekam kalimatnya.

Sampai malam kian larut, Sesshoumaru memutuskan untuk bermalam dengan naungan pohon rindang tua di atasnya. Rin belum berhenti menyelesaikan kalimatnya. Namun tidak mengapa baginya.

Rin duduk di atas pangkuannya. Sesshoumaru merengkuhnya dekat di dada, menunggu gadis itu terbuai oleh rasa kantuknya sendiri. Dan ketika suasana menjadi hening, ia sadar gadis dalam pelukannya telah memasuki alam mimpi.
Perlu waktu hampir sejam lamanya sebelum Sesshoumaru memberanikan diri mencium kening gadis yang sudah dalam terlelap. Suara napasnya yang damai membuat daiyoukai itu tidak ragu mencumbui pelan bibir gadis itu. Berkali-kali.
Ia ingin memilikinya, ingin menandai dirinya bahwa Rin adalah miliknya. Namun Rin berhak memiliki dunia yang seharusnya manusia miliki.
Sesshoumaru bangkit, menarik napas dalam sebelum menggendong Rin pada punggungnya. Kakinya ia bawa berjalan menuju cahaya temaram yang terakumulasi di desa.

Di setiap langkahnya, Sesshoumaru bertanya pada dirinya, apakah yang dilakukannya memang baik untuk Rin. Namun di saat yang sama, pikirannya mengatarkan jawaban bahwa Rin harus hidup bersama manusia.

Sesshoumaru sendiri masih tetap membenci manusia. Rasa tidak sukanya ini seharusnya tidak berkurang sedikit pun sejak ia tahu ayahnya lebih memilih manusia. Dan kini, ia merasa dikutuk atas rasa bencinya sendiri, bermain dengan api yang selama ini ia coba hindari.

Barulah sekarang ia mengerti, manusia mengajarkannya menggunakan hati yang tidak pernah terpakai; memberinya rasa bahagia yang tidak pernah ia dapatkan ketika berhasil membunuh siluman terkuat; dan memberinya rumah untuk kembali. Rin menyediakan segalanya yang tidak pernah ia miliki.

Langkahnya berhenti ketika mendapati seorang pemuda telah berdiri di depannya. Kohaku. Kali ini tanpa Kirara.

"Jangan halangi jalanku," Sesshoumaru bergumam penuh penekanan.

"Rumahnya bukan di sini."

Sesshoumaru tidak merespons.

"Kau tidak bisa mengikatnya di sini. Itu akan terus menyiksanya."

"Bukankah kau mencintai anak ini?"

"Memang, aku mencintainya, tapi aku bukan orang yang tega menyiksanya, juga bukan orang yang bisa menolongnya.

"Seharusnya dari awal aku sudah tahu, Rin memberikan nyawanya untukmu. Karena itulah dia, sejak kau menghilang, seperti kehilangan separuh nyawanya. Dan aku yakin, tiga-empat tahun bukan waktu yang singkat untuk melupakan seseorang. Tapi nyatanya kau gagal melupakannya, maka dari itu kau datang ke sini, mengawasinya dari kejauhan."

Sesshoumaru menatap tajam mata Kohaku. Pemuda itu berhasil menerjemahkan tindakan yang bagi dirinya sendiri pun sulit ia mengerti.

"Semakin kau membohongi dirimu, semakin terluka Rin. Aku mohon, bawalah dia bersamamu."

Setelah menyelesaikan kalimatnya, Kohaku pergi dengan membawa serta lukanya. Tapi baginya waktu akan membuatnya terbiasa. Rin diciptakan untuk mengubah seseorang, bukan dirinya, namun Sesshoumaru.

Sesshoumaru memandang pada tautan bintang yang mulai menyabur, menghilang satu per satu oleh perputaran bumi. Rin masih tertidur nyaman di punggungnya.

Bukan hal yang mudah merelakan seseorang. Sesshoumaru tahu Kohaku kuat. Dan ia tidak ingin mengecewakan harapan pemuda itu.

Untuk kali ini saja, ia ingin percaya pada manusia.


***

What Inuyasha's favorite food? it is Ramen, yeay



Inuyasha sangat suka ramen instan. Dalam beberapa episode diperlihatkan bahwa dia sangat menyukai mie jepang ini. Bahkan di movie 3 diceritakan bahwa Kagome dengan sengaja memasak untuk nya. Memasak bermacam-macam bento yang dibawanya ke jaman Inuyasha. Namun Inuyasha dengan "polos" nya bertanya pada kagome : "apakah kamu bawa itu?" sambil mengacak-ngacak isi tas kagome, dan ternyata setelah melihat ramen instan di tas kagome mata nya berubah jadi Puppy eyes. Haha.

Review Koga (si youkai kawai yang naksir kagome)


Koga? Koga adalah siluman (youkai) dari klan serigala yang sering menyerang desa tempat tinggal Rin. Koga pertama kali terlihat di episode 35, 36, 37. Koga memiliki pecahan sikonotama di kaki dan tangan nya sehingga membuatnya dapat berlari dengan kencang serta bisa mengalahkan musuh dengan cara menendangnya atau memukul nya hanya dalam satu serangan. Koga juga merupakan ketua dari klan serigala. Di awal cerita Koga dan semua klan serigala bermusuhan dengan klan youkai burung pemakan bangkai yang disebut Gokurakucho, mereka saling memperbutkan pecahan sikonotama.

Flower of Immortality - FanFict Sesshomaru Rin




Credit by Amaliah Black : https://m.fanfiction.net/s/9215868/1/Bunga-Keabadian

Gadis itu duduk termangu di hadapan tungku api dengan selimut tipis menyelubungi sebagian tubuh ringkihnya. Sepasang permata coklatnya mengarah jendela kecil di sisinya. Tampak butiran-butiran putih nan mungil lahir dari pucuk angkasa. Musim salju telah tiba—wajar, jika saja hatinya terasa kian membeku.
"Rin..."
Gadis itu menoleh. Seorang taijiya lamat-lamat melangkah menyambangi sang gadis. Terasa betul guratan empati yang kini tersirat menyelimuti semburat di wajahnya. "Rin—" panggilnya sekali lagi. "Inuyasha, Kagome, aneue dan aniue sudah berangkat. Barangkali mereka berempat mampu membujuknya untuk kembali melihatmu ke sini."
Rin tersenyum tipis. Bibirnya yang semakin memucat terlihat melengkung ke atas—sedikit. Lantas, ia kembali memalingkan perhatiannya ke luar jendela. Mengamati serpihan salju yang turun kemudian menggunung, menyampul permukaan bumi yang mulanya begitu gersang. Gadis dengan surai hitam pekat itu menghela nafas pendek. Berharap jelaga kelam yang kerap mendesak dadanya dapat berkurang.
.
Di pucuk gunung
Di tengah rimba
Dalam hembusan angin
Di setiap layar mimpiku
Sesshomaru-sama, kau di mana?
Aku tetap akan menunggu walaupun hanya sendirian
Menunggumu untuk kembali, dan memanggil namaku—
.
.

.
.
"Oi, Sesshomaru!" dengan kasarnya sesosok hanyou dengan haori merah khasnya menerobos masuk ke dalam ruangan megah itu. Sementara sosok lainnya yang berada di dalam hanya duduk diam di atas sebuah kursi besar nyaris menyerupai singgasana. Raut wajahnya yang putih terlihat dingin, seolah dirinya tercipta tanpa emosi. Surai peraknya yang halus dan panjang terkibas sedikit seiring terbuka lebarnya pintu ruangan tersebut.
"Inuyasha..." bisik seorang gadis pendeta berusaha mencegah tingkah laku setengah siluman itu.
"Anoo, Sesshomaru. Maksud kedatangan kami ke sini adalah untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa kau tak pernah mengunjungi Rin lagi?" seorang biksu muda mengambil satu langkah mendekati sosok dingin itu.
Diam. Sang aristokrat hanya bungkam. Air wajahnya sama sekali tak berubah dengan sepasang permata emas yang menghunus terus menatap lurus ke depan.
"Belakangan ini tubuh Rin melemah. Ia jatuh sakit. Mungkin ia sedang membutuhkanmu, Sesshomaru." Seorang taijiya perempuan juga ikut angkat bicara.
Namun sama saja. Yang mereka dapati hanyalah keheningan. Seakan daiyoukai itu tak pernah menganggap keberadaan mereka.
Melihat respon yang menyebalkan seperti itu, Inuyasha merasa semakin jengkel. "Kau dengar kami tidak, hah?! Kau ini... seenaknya meninggalkan anak orang dan mengabaikannya begitu saja! Dasar makhluk tidak berperasaan—"
"...Berisik. Keluar sana."
Kini giliran keempat rombongan itu yang mendadak terdiam. Tak pernah mereka duga bahwa Sesshomaru akan menjadi seperti ini. Siapa yang menyangka bahwa sosok angkuh itu ternyata memang tak berperasaan?
"Be... berisik, katamu?!" bentak Inuyasha geram, kemudian menghambur mendekati sosok sinis itu—yang notabene adalah kakak tirinya.
"Hey, Inuyasha!" pekik Miroku kaget melihat reaksi temannya yang tiba-tiba itu.
"Dengar ya, bedebah! Aku mungkin memang tak menginginkanmu untuk kembali ke desa, tapi—tidakkah kau peduli sedikit tentang gadis yang kau titipkan itu, hah?! Tubuhnya kurus kering, dia menderita! Setiap malam dia terus mengigau, memanggil-manggil namamu!"
"Inuyasha, sudah!"
"...bagaimana jika anak itu mati? Kau nanti akan menyesa—"
GRAAAB—
"Apa kau tidak dengar? Kau ini berisik." Sosok itu bangkit kemudian mencekik Inuyasha dengan kelima jarinya yang kokoh. Meski begitu, tak ada satupun emosi yang tersirat. Hanya ada sorot mata dingin dan menakutkan.
"Ugh!" Inuyasha meronta-ronta dengan sepasang kakinya yang menendang-nendang udara.
"Hentikan, Sesshomaru!" teriak Kagome.
BRUKKHH!
Dengan kejamnya sang daiyoukai menghempaskan tubuh adiknya hingga menghantam lantai begitu keras. Inuyasha berdecak seraya mencoba bangkit, namun Sesshomaru sudah berdiri tepat di hadapannya. Menatapnya dengan tatapan yang terasa jauh lebih menikam.
"Kalau tidak keluar—akan kubunuh kau."
.
.

.
Tidak...
Bahkan aku sungguh percaya di saat kumenatapmu
Sejatinya aku harus menghabiskan sisa usiaku sendirian
Ketika waktu melintasi wajahmu di benakku
Itu sudah cukup membuat air mataku mengalir
.
.
"Rin, kau menangis?"
"Ah—tidak. Sesuatu barusan masuk ke mataku." Gadis itu mengusap-usap matanya. Namun laki-laki di sampingnya tahu.
Bahwa gadis itu sedang berpura-pura.
"Tenanglah, Sesshomaru-sama pasti akan kembali. Percayalah padaku." Kohaku berusaha meyakinkan gadis yang sangat ia perdulikan itu. Mungkin perasaannya hanya sepihak. Ia mengerti betul, hati Rin tentu hanya menanti seorang Sesshomaru-sama. Bukan dirinya, atau siapapun.
Gadis itu kembali mengulas senyuman tipis. Menimbun sesak di dada. Seolah ribuan tombak menghujam ulu hati. Benarkah? Gadis itu terus bertanya-tanya di dalam batinnya. Benarkah sosok itu akan kembali? Singgah dan memanggil namanya lagi? Seperti dulu? Ah—lantas mengapa keraguan malah mengeruak batasan hatinya?
.
.
"Kau yakin akan menjaga anak itu selamanya?"
"Tak ada urusannya denganmu."
"Cih, kau tahu—dia hanya manusia biasa. Dia akan mati terbunuh jika saja dirinya terus berdampingan denganmu."
"Lalu?"
"Kau mengerti, manusia dan siluman itu berbeda. Mereka hidup di dunia yang amat berbeda. Dan... kau menyayangi gadis itu, bukan?"
"..."
"Tinggalkan dia di sini. Di desa ini. Biarkan anak itu hidup layaknya seorang gadis biasa."
Sosok putih itu mengerling tajam. Sinis.
"Lalu, jangan temui gadis itu lagi jika kau memang benar-benar menyayanginya. Atau... musuhmu akan terus menyerangnya. Sebab kau sadar, kan—dia adalah kelemahanmu, Sesshomaru."
Kelemahan.
Mereka bilang aku adalah kelemahan bagi Sesshomaru-sama.
Aku mendengarnya.
Aku mendengarnya.
Sesshomaru-sama...
Jangan tinggalkan aku!
.
.

.
"Dia sudah kembali seperti dulu." Kagome menghela nafas berat sesaat mereka berempat meninggalkan kastil yang luar biasa hebat itu.
"Ya." Sahut Miroku singkat.
"Kau lihat tidak matanya itu?" tanya Sango penuh kesah.
"Uhuk..." Inuyasha terus memegangi lehernya seraya terus mendengus.
"Itu mata saat dia sedang marah."
"Tidak," Inuyasha menyela, "lebih dari itu."
.
.

.
"Dengar ya, bedebah! Aku mungkin memang tak menginginkanmu untuk kembali ke desa, tapi—tidakkah kau peduli sedikit tentang gadis yang kau titipkan itu, hah?! Tubuhnya kurus kering, dia menderita! Setiap malam dia terus mengigau, memanggil-manggil namamu!"
Sosok perkasa yang arogan kini tak hentinya menekuri kalimat-kalimat itu. Ia duduk di beranda kamar, bersandar di bangku panjang. Tak pernah ia pikirkan sebelumnya. Bahwa perasaan bodoh ini begitu rumit. Memang—tak ada yang mengerti apa yang tengah dipikirkannya. Tak ada yang tahu bahwa di balik hati bajanya yang kokoh, tergeletak seikat bunga dandelion layu. Begitu pasrah tatkala angin sepoi berdesir ke arahnya.
Dingin. Aroma dingin dan beku akhirnya menguar. Menembus insting pembaunya.
Sesshomaru berdiri, seperti rajawali yang hendak menukik dari atas hamparan langit. Matanya menyipit. Dari ujung mulut pintu beranda, ia dapati ratusan butir putih meluncur perlahan. Jatuh. Kemudian menggumpal menjadi satu di atas tanah.
"Salju?"
Musim dingin telah tiba.
Musim dingin.
.
.
"Wah, Jaken-sama—rasanya hari ini benar-benar dingin, ya."
"Tentu saja. Ini sudah memasuki awal musim dingin, kan."
"Ah kau benar. Sesshomaru-sama, apa kau tidak merasa kedinginan?"
"Apa kau bilang? Kau buta ya, Rin. Tentu saja tidak!"
"Jaken-sama, aku sedang tidak bertanya padamu."
.
.

.
Seretan pintu shoji menyentakan kedua anak manusia itu. Kohaku segera bangkit, sementara Rin tetap terduduk diam memperhatikan siapa yang datang.
Inuyasha. Kagome. Miroku. Dan—Sango.
Sosok itu... tidak datang?
"Ba... bagaimana?" belum sempat rombongan itu mengucapkan salam, Kohaku segera melemparkan pertanyaan itu.
"Kami gagal membawanya ke sini." Inuyasha menyahut dengan nada lirih—nyaris tak terdengar.
Mendengar itu Rin hanya tersenyum simpul. Benar. Keraguan yang sempat menyembul kini menjadi sebuah kebenaran. Sosok itu tak akan pernah kembali.
"Ma-maafkan kami, Rin!" Kagome segera menghambur. Mengerti akan luka yang kini turut membelenggu hatinya.
"Tidak... tak apa, Kagome-chan." Sahut gadis itu dengan sorot mata meredup. Semuanya tampak usang dan tua. Seperti pelangi yang memudar di langit buram. Lantas, Rin mengatupkan kelopak matanya. Menikmati deruan badai salju di musim dingin. Sesak di dada makin merenggutnya. Nyeri di hati tak mampu ia tahan lagi.
"Rin!"
"Jangan khawatir, aku hanya butuh istirahat. Aku ingin tidur."
Inilah waktunya.
Hawa dingin tengah menjalar menuju ubun-ubunnya. Namun rasa hangat api di perapian lamat-lamat masih mampu mengusir kebekuan di sukmanya. Ia harus menunggu...
Entah menunggu sampai kapan.
.
.
Jalan setapak yang dulunya becek kini tersampul selimut putih dingin. Sesshomaru berdiri di antara batang-batang yang ikut membeku. Mokomoko yang tersampir di bahu kanannya tersapu angin dingin yang menghujam. Semerbak wewangian dan aroma familiar melintasi cuping hidungnya. Ia memejamkan sepasang kelopak mata berpoleskan warna magenta itu. Mendesah. Menghirup aroma yang telah lama ia rindukan.
"...jangan temui gadis itu lagi jika kau memang benar-benar menyayanginya. Atau... musuhmu akan terus menyerangnya. Sebab kau sadar, kan—dia adalah kelemahanmu, Sesshomaru."
Ia ingat kekata itu. Masih sangat ingat.
Mungkin ia tak mengenal siapa yang melontarkan kalimat tersebut—namun yang ia tahu, itu adalah kebenaran.
Tak ada yang bisa meleburkan sisi kerasnya. Kecuali gadis itu.
Rin.
Rin adalah kelemahannya.
Yah—bahkan ia tak mengerti, apa yang membuat anak manusia itu sanggup mencairkan rasa angkuhnya. Ia bahkan tak paham, mengapa dirinya begitu sakit sesaat benaknya kembali meracik serumpun nostalgia. Bertahun-tahun ia pendam goresan sembilu di relung dadanya. Bertahun-tahun ia hidup dalam kepura-puraan. Bertahun-tahun pula ia mengabaikan bunga keabadian miliknya.
"Rin." Sesshomaru menengadahkan kepalanya. "Aku kembali."
.
.
Di pucuk gunung
Di tengah rimba
Dalam hembusan angin
Di setiap layar mimpiku
Sesshomaru-sama, kau di mana?
Aku tetap akan menunggu walaupun hanya sendirian
Menunggumu untuk kembali, dan memanggil namaku—
.
.
"Aneue, badan Rin dingin sekali!" seru Kohaku dengan jemarinya yang menggenggam telapak tangan Rin. Rona kecemasan mengitari gurat wajahnya.
Semuanya terperanjat. Kagome cepat-cepat memeriksa kotak ramuan di sisi jendela. "Gawat, kita kehabisan banyak antidot dan obat herbal..."
"Be-bertahanlah, Rin!" pinta Kohaku diiringi Miroku dan Sango yang berusaha membasuh wajah pucat Rin dengan air hangat.
Rin hanya membisu. Matanya tertutup, serapat bibir mungilnya yang pasi. Nafasnya teratur, namun kian melambat.
Inuyasha masygul. Merasa muak. Ia tak dapat memungkiri, ini semua adalah kesalahan terbesar yang pernah kakaknya perbuat. "Ck—baiklah, aku akan segera pergi ke rumah Kaede-baba dan meminta sisa obat kemarin..."
Hanyou itu lantas membeku sesaat tangannya menggeser pintu shoji dan hendak menyeret langkah keluar.
"Sesshomaru...?"
Sosok bersurai perak dengan armor dan mokomoko di setiap sisinya telah berdiri tegap, tepat di hadapan Inuyasha. Sepasang jamrud tajamnya menyapu wajah sang adik, lantas beralih ke arah seorang gadis yang masih terpejam di samping jendela.
Sepasang boot hitamnya basah, diserbu gumulan salju yang membalut bumi. Ia mengatur langkah menuju gadis itu. Gadis kecil yang dulu sering bersamanya.
Gadis manis yang sudah lama ia abaikan.
Wajahnya boleh tenang. Boleh saja beku. Bibirnya boleh saja diam. Boleh saja bungkam. Tetapi, Sesshomaru yang mereka sebut makhluk tak berperasaan itu kini merasakan keperihan yang merajah titahnya. Bunga keabadiannya akan layu, seiring terpaan angin musim dingin yang menerjang bunga dandelion miliknya.
Kohaku menyingkir—usai sepersekian detiknya membatu karena kedatangan tuannya yang mendadak, mungkin. Sementara yang lainnya turut membisu, memperhatikan sosok hipokrit itu.
"Rin—" Sesshomaru membalurkan kelima jarinya yang panjang ke pipi sang gadis. Dingin. "Rin, bangunlah."
Sedetik. Dua detik.
Gadis itu membuka kedua permata coklat gelapnya perlahan. Sedikit kaget melihat siapa yang kini tengah berhadapan dengan wajahnya. "Sesshomaru-sama...?"
Perasaan hangat dan penuh seketika menjalar di sepanjang lorong sukmanya. Mengusir serpihan debu yang sempat tertabur menyelimuti. Pada akhirnya, sosok itu kembali...
Kebahagian sudah menyertainya.
Tapi, masih adakah harapan baginya untuk kembali berada di samping sosok itu lebih lama lagi?
"Kau kembali, Sesshomaru-sama?" tanya gadis itu balas menyentuh tangan Sesshomaru. "Selamat datang..." Rin mengulas selengkung senyumnya yang kian merapuh. Setitik kristal bening merayap melalui sudut matanya. Tak mampu ia tahan lagi genangan yang kerap kali menerobos keluar dari pelupuk matanya.
Tanpa diduga, gadis itu lagi-lagi mengatupkan sepasang kelopaknya. Tak menghiraukan rinai air mata yang terus mendera.
"Hn?" Sesshomaru meraih jemari sang bunga hatinya. Dikepalnya ke dalam genggamannya. Dingin. Tak ada lagi aliran hangat yang terasa. Pupil matanya seketika membulat. Ia mencium bau kematian—
Gadis itu sudah mati.
Sesuatu kini menggumpal di dadanya. Matanya terasa panas. Sesshomaru tak begitu tahu perasaan apa sebenarnya ini. Namun, luka dan kepedihan kembali melapisi dinding batinnya. Bahkan juga ketakutan...
Ketakutan untuk kehilangan bunga keabadian itu.
Bunga miliknya telah layu. Benar-benar telah gugur—di tengah musim salju.
Untuk kesekian kalinya semua harus berakhir seperti ini. Kesempatannya telah sirna. Janji terakhir yang kekal selamanya akhirnya terpanjat.
Sosok putih itu semakin menggenggam erat tangan yang terasa kian membeku. Ia rengkuh tubuh kurus yang telah lama jauh darinya. Dengan dinding-dinding air bagai selaput di iris matanya, ia dekatkan wajahnya ke arah sang gadis. Mengecup bibir mungil pucat yang dulunya merekah. Bibir merah jambu yang selalu tersenyum tiap kali menatapnya.
"Rin, aku... sudah kembali."


~END~

Ah-un (Naga kepala dua milik Sesshomaru)




Ah-un adalah naga berkepala dua milik Sesshomaru. Namun Sesshomaru tak pernah sekalipun mengendarainya, karena dia memberikan nya untuk Rin kendarai agar tidak lelah berjalan saat melakukan perjalanan bersama nya. Terkadang saat melakukan perjalanan Jaken sering mengeluh lelah, Rin menawarkannya untuk berganti mengendarai Ah-un namun mata Sesshomaru langsung seolah berkata "awas kau jangan berani-berani" dan Jaken pun tak pernah berani mengendarai Ah-un saat bersama Rin dan Sesshomaru.

Review Jaken


Jaken adalah siluman kodok yang mengikuti kemana pun Sesshomaru pergi. Dia yang paling "membela" saat Sesshomaru bertarung dengan Inuyasha. Sifat nya yang kadang ceroboh dan plin-plan sering membuat Sesshomaru kesal dan pergi meninggalkannya. Namun dia sangat royal dan setia terhadap Sesshomaru serta sangat melindungi Rin (karena apabila terjadi apa-apa pada Rin, Sesshomaru akan marah kepadanya, haha) walaupun dia sebenarnya agak enggan mengurus Rin.

Review Rin



Rin adalah gadis kecil yang "dirawat" Sesshomaru. Pada awal nya Rin terlihat sangat kotor dengan pakaian kumal dan rambut yang acak-acakan. Dia adalah yatim piatu yang menghidupi dirinya sendiri walaupun dengan mencuri, sebelum bertemu dengan Sesshomaru. Untuk itu sering sekali Rin dijadikan bulan-bulanan penduduk desa dengan dalih "tidak tahu terimakasih".

Diceritakan bahwa ternyata orang tua Rin menjadi korban para siluman serigala yang sering menyerang desanya. Saat Sesshomaru pertama kali bertemu dengan Rin (episode 35) dia sedang terluka parah akibat luka yang diakibatkan Kaze no Kizu nya Inuyasha.
 

Diary of Queen Gietha Copyright © 2011 Girl Music is Designed by Ipietoon Sponsored by web hosting