PENGALAMAN




By kemudian.com , user ID : nereid
di posting juga di Grup Creepypasta Indonesia

Edited by Me (terkadang ada pemenggalan kata yang kurang sesuai, dan sedikit kata yang rancu. pengeditan tidak mengubah jalan cerita)

*****

“Don, kenapa di kamarmu gak ada persediaan air , ‘sih?”

“…Ambil aja di dapur.”

“Tapi kan ini jam setengah satu…”

“Dah, ambil aja. Ngantuk nih…nyem…nyem…”

“…”

Aku menghela napas.

Malam ini aku menginap di rumah Doni, teman sekelasku, lantaran ada tugas yang belum diselesaikan.

Setelah mengerjakan tugas membosankan itu, aku kemudian keasyikan bermain komputer sampai-sampai lupa waktu.

Jarum jam menunjukkan pukul setengah satu, tenggorokan ku kering.

Tapi ada perasaan tidak enak di hatiku. Terkadang dingin menyengat, sebelum kemudian menghilang. Itu meninggalkan kesan buruk untuk ku akan rumah ini.

Ya, mungkin juga karena cerita Doni beberapa jam yang lalu.

“…”

Perlahan aku buka pintu kamar Doni. 

Di luar disambut dengan deras hujan yang membekukanku. Aku kembali menghela napas.

—Tidak, kali ini aku menghirup napas panjang dan mengeluarkannya perlahan.

Ya, aku harus menenangkan diriku sejenak.

Kenapa?
Karena pemandangan ini mengingatkanku pada obrolan semalam.

Pepohonan, bambu-bambu, bahkan karung yang menyangkut di pagar melambai-lambai, bergerak naik turun seakan mereka bingung harus bergerak ke arah mana. Ya, ketika pintu kamar dibuka, pemandangan di luar benar-benar ‘luar’ rumah.

Ada taman kecil di sudut tembok luar rumah dan tempat parkir beratap. Pekarangannya tidak begitu luas namun kosong, cukup untuk memarkirkan dua mobil sekaligus. Sekarang itu yang membuatku berpikir kalau sebenarnya kekosongan itu sengaja disediakan untuk suatu hal lain yang tak terlihat.

Aku selangkah maju, menatap ke kiri.
Di depan mataku menanti sebuah koridor—atau aku saja yang menyebutnya koridor karena walaupun aku di luar rumah, jarak menuju ujungnya cukup jauh—yang gelap, benar-benar gelap.

Doni bilang kalau hujan memang harus dimatikan lampunya, karena kalau nyala cenderung korslet.

Tapi lihat rumah ini, siapa yang mau berkunjung jika segelap itu?

Yah, walaupun aku sangat tidak berharap ada yang berkunjung pada jam-jam segini.

…...itu mengingatkanku akan sesuatu.

Bersamaan dengan langkah kakiku melewati koridor hitam yang seakan menelanku, teringat kembali cerita Doni.

‘Pas hujan turun, pasti bakal ada suara orang baris gak beraturan, seakan ngikutin kamu dari belakang.’

Hawa dingin sekejap menyerang leherku.
Apa ini? Kukira Doni cuma bercanda.

Satu langkah aku berjalan, suara hentakan kaki yang tidak bisa kuhitung jumlahnya seakan mengikutiku. Aku tidak main-main. Rasanya serasa diikuti oleh satu pleton pasukan yang sedang berhamburan lari dari bom musuh.

Angin malam pun mendorong diriku untuk melangkah lebih cepat.

Suara degub jantungku, langkah kakiku, satu pleton, dan gemerisik pepohonan serta hutan bambu membuat keningku terasa hangat walaupun udara sangat dingin. Jangankan menengok, kepalaku terus menunduk hingga aku bisa melihat bagian bawah pintu dapur, bagaikan menemukan surga di tengah-tengah neraka.

Saat aku hendak memutar knop, aku menghentikan langkah.

Kilatan cahaya ingatanku membuka kembali lanjutan kalimat Doni yang biadab itu.

‘Pas masuk dapur, buru-buru nyalain lampu. Kalo kelamaan, ntar ada tangan narik kakimu loh.’

Aku menelan ludah.

Haruskah aku terbang sembari menyalakan lampu?

Tunggu, bahkan aku tidak tahu dimana letak saklar lampunya!

Tenang… tenanglah diriku!

Ya, tenang… aku bisa mengatasinya dengan mudah.

Saklar lampu kamar Doni berada tepat di sebelah pintu, menempel di tembok sebelah kanan. Aku tidak yakin semuanya sama atau tidak. Tapi kemungkinan besar pasti dugaanku benar, toh yang membuat rumah seharusnya sama.

Aku menghirup napas dalam-dalam.

Dengan gerakan secepat yang aku bisa, kubuka pintu dapur dan memaksa masuk ke dalam. 

Tanganku meraih ke kanan dan menemukan lekukan tembok 90 derajat, mengarah ke pintu.

Pintu?!

Jadi kemana? Aku harus kemana?! Ah! Di balik pintu!

Aku masuk lebih jauh dan memutar pintu hampir tertutup. Memfokuskan mata, kutemukan sesuatu berwarna putih dan berbentuk persegi menempel di dinding. Kujulurkan telunjukku untuk memencet saklar nirvana itu namun sepertinya aku terlambat.

—Aku dapat merasakan sesuatu yang lembut dan ringan meraih kakiku.

“!!”

Aku serasa ingin berteriak, namun ternyata yang bisa kulakukan hanyalah menarik kuat kakiku ke atas dan buru-buru menyalakan lampu.

Terang.

Mataku yang masih menyesuaikan diri langsung beralih ke bawah.

Yang bisa kulihat hanyalah lantai berwarna merah kehitaman. Tidak ada sesuatu berwarna putih atau apapun itu yang berbentuk seperti tangan yang sedang menarik kakiku.

Hilang? Kemana? Sudah amankah aku?
Aku masih tidak yakin.

Namun karena sekarang keadaan sudah terang, walaupun sejenak, aku bernapas lega.

Haaaahhh…entah mengapa aku merasa lelah.

Kuusap keringat dinginku dan segera meraih sebuah gelas. Kulihat dispenser biru di atas tempat menyimpan beras dan kutekan tombolnya. 

Gemercik air yang masuk ke gelasku seakan berpacu suara dengan hujan, ah apa yang aku pikirkan?

Kuteguk sedikit demi sedikit hingga habis. Aku masih merasa haus. Kupencet lagi tombol dispenser sebelum kemudian meletakkan mulut gelas di bibir, hendak minum lagi. Namun saat itu juga, kudengar suara kasar derit pintu terbuka.

“…”

Siapa—ah!

Terngiang-ngiang lagi di kepalaku suara membosankan Doni.

‘Di malam hari pas di dapur, kalo denger suara pintu kebuka, bakal ada beberapa kejadian aneh. Suara logam bertumbukan, bau muntah jijik, dan mati lampu. Saranku sih jangan nengok.’

Persetan dengan saranmu!

Jangankan menengok, air minum saja tidak masuk ke mulutku!

Apa itu? Suara apa itu? Siapa yang bermain logam tengah malam begini?!

Klang Klang Klang… 

Suaranya tidak beraturan. Seolah logam itu sendiri sedang menari-nari dalam penderitaanku. Bahkan sepertinya disengaja dan memaksaku untuk tetap berdiri membeku, membiarkan air minumku tumpah dan membasahi bajuku.

Namun tak lama, perlahan suara itu berhenti.

“!!”

Bau menyengat menusuk hidungku. Aku hampir memuntahkan minumanku. Ya, bahkan aku belum muntah, tapi bau menyengat ini sudah muncul. 

Tidak salah lagi, seperti muntahan seseorang!

Aku menahan napas.

Tubuhku bagian dada ke atas terasa panas dingin. Otakku sudah berulang kali menebak liar apa yang ada di belakangku ini. Haruskah aku menengok? Kurasa itu bukan ide yang bagus. Tapi saran Doni sangat membuatku semakin penasaran!

Namun kemudian suara tarian logam itu kembali berdencing..

Klang Klang Klang..!

Apa yang menyenangkan dari bermain logam tengah malam sambil muntah wahai sesuatu-yang-ada-di-belakangku?!

Lagipula sampai kapan siksa ini akan berakhir?!!
Bersamaan denganku memikirkan hal itu, suara logam bertumbukan itu berhenti. Aku sedikit lega.

Hingga kejadian terakhir yang membuatku terperanjat benar-benar terjadi.

“!!”

Lampu dapur mati, kurasa karena ulah sesuatu-yang-bermain-logam-dan-muntah-di-belakangku-tadi, diikuti dengan suara decitan pintu tertutup. 

Yang saat ini bisa kudengar hanyalah suara hujan yang saling bersahutan layaknya saling mengajak bermain di malam hari.

Keringat dingin meluncur turun ke punggungku.

Sontak aku meloncat-loncat—tentu karena aku mengingat kembali kalimat Doni sialan itu sebelumnya—dan kembali menyalakan lampu.

Dan ketika terang menghangatkan diriku, aku kembali bernapas lega.

Huffttt… aku tidak tahu kalau minum air itu bisa membuatku sangat kelelahan seperti ini.

Karenanya, aku merasa tidak mengantuk—bahkan aku tidak ingin tidur. Aku pasti tidak bisa tidur. Ya, mungkin aku akan mengambil beberapa komik untuk kubaca sepanjang malam dingin ini.
Doni pernah berkata.

‘Komik? Masuk aja lewat dapur terus masuk pintu lagi sampai nemu ruang tamu. Menghadap utara, ada dua kamar di sebelah kanan, nah, kamar yang paling jauh itu biasa buat nyimpen buku…’

Dan tentu saja, kalimat lanjutannya kuingat jelas di kepalaku sampai-sampai aku membenci diriku sendiri karenanya.

‘…Tapi hati-hati. Kalo nemu sesuatu yang lewat, jangan diikutin.’

‘SIAPA JUGA YANG MAU NGIKUTIN, BENGAK?!’ 
adalah yang saat itu aku pikirkan namun tidak jadi kuteriakkan padanya lantaran suasana sudah semakin seram.

Kunyalakan lampu ruangan terakhir dan kutemukan ruang tamu yang ada di ujung. 
Sebelum ruang tamu ada semacam kasur yang dipisahkan oleh almari sebagai sekat dan bisa kulihat televisi di sebelahku.

Mungkin semacam ruang tengah.

Tentu aku juga menemukan dua pintu kamar di sebelah kanan. Namun pemandangan dari jarak jauh ini… entah mengapa terasa seram. Apalagi dihiasi oleh suara hujan yang aku tidak tahu kapan berhentinya.

Sangat sempurna.

“…”

Kutelan ludahku dan mulai berjalan.

Cepat atau lambat? Mana yang bagus?

Cepat!

Aku sedikit berlari ke arah kamar terjauh dan tanpa pikir panjang masuk, meski gelap. Dari lampu luar, bisa kulihat judul-judul komik yang membantuku bertindak lebih cepat lagi.

Setelah meraih hampir 10 buku (dan aku ternyata tidak sempat memilih judul dan asal menyambar), kupeluk erat hiburan itu dan kulangkahkan satu kaki keluar sebelum kemudian—
—aku melihat sekelebat bayangan anak kecil berlari ke sebelah kamar yang aku masuki.

Sangat dekat dengan ku tapi—entah karena saking cepatnya atau apa—aku sama sekali tidak bisa melihat wajahnya. Ya, seakan mataku tidak fokus, atau mungkin karena setelah terbiasa melihat gelap dan kembali ke tempat terang membuat mataku demikian.

Dan aku mendengar tawa kecilnya, membuat bulu kudukku berdiri dan kakiku serasa beku oleh hawa yang mendadak dingin, seperti udara sedang bergerak memutari dan mengunci kakiku.

Tapi kali ini, saran Doni yang tadinya ku keluhkan menyelamatkan ku.

Rasa takut ku akan keselamatan ku lebih besar daripada rasa takut ku akan sesuatu berwujud anak kecil itu.

Tanpa berteriak (walaupun sangat ingin berteriak namun tentu saja, tidak ada suara yang keluar dari mulutku), aku berlari menerjang semua ruangan, bahkan koridor kegelapan laknat itu.

Jangankan mematikan lampu, bahkan aku tidak sempat menutup pintu.

Lantai koridor yang licin karena hujan membuatku menjatuhkan beberapa komik dan tentu saja aku tidak berpikiran untuk mengambilnya. Terlalu beresiko! ya, aku tidak ingin menoleh sekalipun malaikat memanggilku.

Dan yang terpenting : aku tidak berkeinginan untuk mengikuti bocah itu.

“Hahh…hahhh…”

Dengan napas terengah aku menutup kencang pintu kamar Doni, namun dia tidak terbangun.

Setidaknya bangunlah untuk melegakanku!!

Tapi percuma, aku kenal Doni memang tidurnya seperti kerbau. Karenanya, aku ambil selimut dan melompat ke kasur, memojokkan diri sambil gemetar di antara malam bernadakan hujan deras ini.

Setelah cukup tenang, kubuka-buka lembaran komik yang ternyata membosankan itu lalu perlahan aku tertidur.
...
..

Esoknya, aku berangkat ke sekolah bersama Doni.
Aku tidak ingin menceritakannya sebelum berangkat sekolah dan ketika kesempatan itu datang, aku mulai membuka mulut.

“Rumahmu benar-benar aneh.”

“Maksudmu?” tanya Doni sambil mengunyah roti panggangnya.

“Ya, semua ceritamu benar. Aku semalam mengalaminya!”

Namun wajah Doni tampak kebingungan.

“Yang mana sih?”

Aku menatapnya ragu, apa semalam aku bermimpi?

“Itu loh, yang katamu kalo lewat koridor malam-malam pas hujan bakal ada—"

“Oh yang itu!” potong Doni dan melanjutkannya dengan pertanyaan, “emang ada apa semalam?”

“Lah, ya ada suara tentara lari gak jelas, aku bahkan gak berani nengok!”

Doni tertawa, aku hanya bengong seperti orang bodoh.

“Hahahah, lucu! Itu suara hujan tau!”

“Heh?” Wajahku masih tampak bodoh.

“Iya, itu tuh suara hujan. Coba deh dengerin lagi, mungkin saking takutnya, kamu ngira itu suara tentara baris!”

Ti-Tidak bisa kupercaya!

“La-Lalu, tangan yang narik kakiku itu?”

“Itu kodok. Emang kadang gak keliatan soalnya lantainya gelap, masa begitu aja kamu percaya sama candaanku?”

“Kamu bercanda?! Lalu… lalu… suara logam, bau muntahan, sama lampu mati itu?”

“Ah… nenek ada-ada aja. Biasanya dia keluar malem-malem, ambil minuman dari buah pace, emang baunya kayak muntahan gitu. Terus dia udah rada-rada rabun gitu deh, jadi suka gak ngeliat kalo kamu diem aja. Oh, dia juga suka marah-marah kalo lampu gak dimatiin, pantesan tadi dia bentak-bentak.”

Aku kembali bengong.

Masa semuanya bohongan? Tapi semalam terasa nyata sekali sampai-sampai aku tidak tahu kalau cerita horor Doni sebenarnya hanyalah kebiasaan yang akan menjadi menakutkan bila pertama kalinya dialami.

Ah, masih ada satu lagi.

“Oh… aku ingat kamu punya adik. Jadi yang semalem yang lari-lari di ruang tamu itu adikmu ya?”

Doni menatapku aneh, alisnya mengerut.

Keringat dingin meluncur di pipiku.

“Adik? Mana mungkin…”

Lidahku terasa kering, jantungku tiba-tiba berdegup kencang setelah mendengar Doni melanjutkan.

“…semalam kan dia nginep di rumah sakit, kata mama sih diare.”

Aku menelan ludah dan menahan napas.

“Emangnya ada apa?”

“Eh… Ah… engga, gapapa kok,” jawabku sembari menggaruk kepala.

Selaras dengan langkahku beranjak ke sekolah, pikiranku juga sedang berjalan-jalan mengingat kejadian semalam.

Aku sangat yakin, semalam itu anak kecil.
Doni cuma punya adik satu dan dia sedang dirawat di rumah sakit.

Lalu…

Siapa yang lewat didepan ku semalam?
***

0 komentar:

Posting Komentar

 

Diary of Queen Gietha Copyright © 2011 Girl Music is Designed by Ipietoon Sponsored by web hosting