JANGAN KELUAR MAGRIB #TERSESAT


🌼 Sc Tulisan : Dini Lisdianti (Group FB : Komunitas Bisa Menulis)
🌼 Repost and Edit : Me (Kadang kalo repost spasi sama pemenggalan katanya jadi berantakan jadi di edit ulang tanpa mengubah isi cerita)
🌼 Sc Pict : Jessi Feltes (Pinterest)
*****

Cerita ini adalah kisah nyata saya sendiri. Semoga bisa diambil pelajarannya. Bahwa, selalu utamakan berdoa saat berpergian. 

Bismillah ....
🌷🌷🌷

Suara azan magrib berkumandang, aku dan suami bergegas melaksanakan kewajiban sebagai orang muslim. 

Tak butuh waktu terlalu lama, aku yang merasa hari akan hujan, segera mempersiapkan diri dan memaksa suami untuk cepat berangkat. Ya ... hari ini kami akan mengambil paket ke sebuah alamat—tepat di perkotaan—hanya saja belum pernah ke sana.

Pintu kubuka dengan lebar, sementara suami masih duduk berhadapan dengan pintu. Seperti merenung.

"Yah, cepet. Ini udah mulai gerimis," kataku sambil celingukan di depan pintu.

"Bu, tau gak alamatnya?" Dia balik bertanya, karena memang lokasi yang di-share sedikit tidak asing. Hanya saja kami tidak pernah pergi ke tempat tersebut.

"Santai, buka google map." Dengan santai aku membuka google map dan mengetikan alamat yang akan dituju, karena sharelok yang dikirim tidak bisa dibuka.

Sementara aku sibuk men-zoom lokasi, suami memakaikan jaket ke anak kami yang masih berusia 3 tahun lebih. Namun, setelah itu ia malah duduk kembali dan bukan menggubris pernyataanku tentang hujan yang sudah akan turun.

"Hayu! Ini udah ketemu, ntar malah kemaleman."

Dia menghela napas, akhirnya berdiri dan memakai jaket, lalu menghampiri
dan mengambil ponsel yang kugenggam. Ia melihat lokasi, lantas memberikan ponsel itu kembali.

"Cepet WA orangnya, bilang kita mau berangkat sekarang," ucapnya. Aku mengangguk dan bergegas mengirim pesan ke orang yang bersangkutan.

Akhirnya kami berangkat menaiki kendaraan roda dua, dengan posisi anak di depan. Aku yang memegangi hp sebagai petunjuk arah, menatap lokasi di peta yang menunjukan jarak tidak terlalu jauh.

Mulailah kendaraan melaju dengan kecepatan sedang, semantara langit mulai meneteskan air secara perlahan. Gerimis. Untung saja tidak terlalu lama.

Kami melewati jalan seperti biasa, hanyak saja motor berhenti di sebuah pertigaan. Suami bertanya, "Belok apa lurus?"

Aku memperhatikan peta dengan saksama, lalu menunjuk arah belok. Hanya saja ada yang janggal, hati seolah berkata 'lurus', tapi google map mengarah sebaliknya.

Akhirnya kami melewati jalan tersebut. Gelap, sepi, bahkan tidak ada kendaraan sama sekali. Kami menerobos jalan melewati perumahan, hanya saja banyak pohon bambu tinggi di sekitarnya.

Jantungku mulai sudah tak karuan, mengingat anak yang duduk di depan. Tiba-tiba saja dia merengek dan minta pindah, dengan alasan ngantuk. Akhirnya motor pun harus berhenti, dan dedek pindah ke belakang.

Keluar dari perumahan, hati terasa lega. Motor mulai melaju kembali. Kali ini kami menyusuri rumah warga, tapi tetap saja tidak ada orang dan kendaraan yang melintas atau mengikuti. Aku masih mencoba berpikir biasa saja karena memang hari masih di jam-jam magrib.

Gerimis mulai turun kembali, hawa bertambah aneh. Entah hanya perasaanku saja, atau memang seperti itu. Aku fokus menatap ke depan, hingga di depan sana terlihat kabut yang cukup tebal.

"Bu, asli jalan ke sini? Kok, kaya gini amat," ucap suami agak berteriak.

Aku kembali menatap layar ponsel. "Bener, lihat aja jalannya, tuh." Aku menyodorkan hp ke arahnya, ia sedikit menolah dan kembali fokus menyetir.

Entah berapa jauh kami menerobos jalan. Jalannya terasa begitu lurus dan mulus, hanya saja sebelah kiri seperti jurang tertutup kabut, dan sebelah kanan pepohonan yang tinggi.

Perasaanku semakin tidak enak. Tangan kiriku fokus memeluk dedek yang tertidur lelap, tangan kanan memegang ponsel, sementara mulut fokus membaca istigfar.

Jalanan mulus itu berakhir, kini kami masuk ke sebuah jalan setapak yang hanya bisa dilalui 1 motor saja. Sudah dipastikan, pepohonan rindang di sebelah kanan dan kiri begitu menjulang tinggi. Di mana kami sebenarnya?

Suami mendadak menghentikan motornya di tengah jalan. Suasana semakin gelap, sepi, aneh. Aku tak berani menatap ke atas, atau bahkan melirik ke arah lain. Mulutku tak luput mengucap istigfar.

"Coba lihat hp-nya!" Ia membalikan badan, dan menatap layar hp, sesekali men-zoom layar berukutan 6 inc itu.

"Be-bener, 'kan?" Lidahku mendadak kelu. Tidak pernah terbayang sebelumnya, aku bisa berada di tempat seperti ini bersama suami dan anakku.

Ia menghela napas. "Ini udah gak bener, kita harus balik lagi," ucapnya membelokan motor. Namun, bukannya melaju dia malah membeku di tempat.

"Astagfirullah hal adzim." Suami tampak mengusap wajah, lalu kembali membolakan motor ke arah semula dan meneruskan perjalanan.

Agh, sebenernya apa yang dia lihat? Dia seperti bungkam, bahkan aku pun enggan bertanya. Jelas tidak siap dengan jawabannya nanti.

Suamiku tidak berkata apa-apa lagi, selain terus fokus menyisir jalanan yang gelap dan sunyi ini. Ada yang aneh sebenarnya, biasanya google map menunjukan jalan berwana biru, kini gambar jalan tampak berwarna merah.

Aku merenung sejenak. Bukankah itu menandakan jalan dalam keadaan macet. Macet? Bahkan tidak ada kendaraan satu pun di sini. Jangankan kendaraan, jika situasi dibuat hiperbola, mungkin semut pun akan takut berada di sini sendirian.

Semakin lama, aku semakin tidak paham dengan situasi di sini. Mungkin sudah bukan dibilang jalan lagi, kami seperti berada di pertengahan hutan dengan jalan berbatu dan curam. Mulutku terus melantunkan ayat Al-Quran sebisa mungkin. Apa pun yang kuhafal, itu yang kubaca.

Keanehan pun terjadi kembali, kami menemukan sebuah pintu gerbang. Sampai kendaraan harus berhenti sejenak, mungkin suami akan kembali bertanya apa jalan sudah benar?

Kami sama-sama menghela napas, memperhatikan pintu kayu yang sudah tua dan sangat rapuh. Bahkan, terjuntai rantai besar seperti bekas dibuka.

"Masuk?" tanya suami dengan nada lemah.

"Ya, masuk. Kita sudah jauh, gak tau di mana juga. Masa iya mau pulang lagi," ucapku tak kalah lemah. Bahkan memaksa untuk tersenyum, walau badan bergetar hebat.

Pak suami kembali menyalakan mesin, dengan mengucap bismillah kami memasuki pintu tua dan rapuh tersebut. Setelah masuk, mata kami kembali disuguhkan dengan hal yang berbeda.

Jika tadi kami menyusuri jalanan sempit dan curam, kini kami berada di tempat yang luas. Ada 2 jalan kembali di sana, lurus dengan pintu gerbang terbuka lebar. Atau ... belok dengan jalan berbatu.

Pikiranku kembali berkata, 'belok'. Lagi-lagi, google map menyuruh kami untuk lurus. Tidak ada cuitan kami salah jalan, atau kami akan menemukan belokan. Semua tampak hening. Mungkin map eror, atau aku yang gaptek? Entahlah ....

"Ke mana, Bu? Apa lurus?" tanya Pak Suami dengan nada tetap santai.

"Kata google lurus. Ya udah coba ikutin dulu aja."

Akhirnya kami pun masuk ke gerbang yang terbuka lebar tersebut. Lagi dan lagi, pemandangan kembali berbeda. Kami berada di tengah lapangan yang sangat luas. Walau ini malam dan gelap, kami tau ini sebuah lapangan.

Di tengah hamparan lapangan, terdapat satu rumah kumuh. Sangat kumuh. Sementara di sisi gerbang, ada ruangan yang begitu terang. Hanya saja aku menangkap sosok berjubah hitam dari dalam sedang memperhatikan kami.

Ah, mungkin securiti. Pikiranku masih berusaha waras, sampai motor mencoba berputar arah. Aku belum berani menatap rumah kumuh di samping kami, terlalu menakutkan.

Akhirnya kami memutuskan untuk mengambil jalan yang satunya, yaitu belok kanan. Memilih jalan berbatu karena memang tidak ada jalan lagi.

Laju motor yang semula kencang, berubah menjadi melambat. Apa yang aku takutkan terjadi, motor ternyata mogok. Akhirnya aku harus turun di tengah jalan yang sulit kujelaskan keadannya.

Dedek masih terlelap dalam tidurnya, aku menggendongnya dengan keadaan pakaian yang sudah mulai basah. Meski hanya gerimis, tapi dengan waktu yang lumayan lama bisa membuat kami kebasahan.

Suamiku mendorong motor, sementara aku menggendong dedek dengan tetap menyebut asma Allah. Tak terasa, aku mulai meneteskan air mata, merasa lelah dengan perjalanan ini. Entah sudah berapa lama kami di sini, jelasnya ini membuat tubuhku sangat kelelahan.

Di tengah perjalan kami, wewangian mulai menyeruak. Paling tajam adalah bau bunga melati. Aku dan suami yang berjalan beriringan hanya saling pandang, lantas kembali fokus untuk bisa kembali pulang.

Di tengah suasana gelap dan sunyi, aku seperti menemukan secercah cahaya. Di depan sana, tampak sebuah lampu menerangi jalan. Aku mulai mengucap syukur, berharap itu adalah akhir dari perjalanan kami.

"Bu, cobain naik lagi. Siapa tau nyala sekarang mah," ucap suami mulai menaiki motor, dan mencoba menghidupkannya kembali.

"Alhamdulillah ...." Sontak kami bahagia, karena bisa meneruskan perjalanan ini.

Aku pun naik kembali, untuk meneruskan perjalanan. Sampai akhinya kami menembus cahaya tadi yang ternyata lampu digantung di sebuah kayu. Aku mulai tersenyum lebar saat menemukan dua orang tengah sibuk membersihkan truknya. Bahkan sudah ada beberapa rumah warga terlihat.

Ada rasa penasaran berkecamuk untuk menoleh ke belakang, melihat jalan apa yang sedari tadi kami lalui. Hanya saja seperti ada yang berbisik untuk jangan menoleh dan bergegas pergi dari sini.

Semakin kami meneruskan perjalanan, akhirnya kami bisa berada di kota. Entahlah, aku tidak paham. Sampai menemukan lokasi, dan cepat-cepat pamitan pulang karena hari sudah larut malam. Ternyata sudah 2 jam kami melalui semua ini.

Saat pulang pun kami jalan di perkotaan, dan jalanan sangat macet. Wajar, kali ini google map berwarna merah. Lalu, yang tadi?

***

Alhamdulillah, perjalanan berakhir, kami sudah sampai rumah. Aku bergegas ke kamar menidurkan dedek, sementar suami duduk dengan posisi kaki diluruskan.

Aku merasa tubuhku sangat cape dan lemas. Setelah menidurkan dedek, aku kembali menghampiri suami dan duduk tepat di sampingnya.

"Parah, jalannya ekstrim banget," sahutnya, dibales dengan kekehan dariku.

"Tadi kita di mana, ya?" Aku berantusias untuk membahas semuanya.

Dia hanya menggeleng. "Ayah bukan takut sama hantu, cuma mikir kalo ada begal gimana. Mana sepi, gimana nasib kita sekeluarga, terutama mikirin anak dan istri. Di tempat sepi gitu mana ada yang nolong?"

Aku hanya tertawa. Ternyata selama di perjalanan dia masih bisa berpikir positif, meski tidak tau sebenarnya apa yang kami lalui tadi.

"Tadi villanya bagus banget, ya," sambungnya lagi.

"Hah? Villa yang mana?" tanyaku penasaran. Karena boro-boro melihat Villa, semua yang dilalui pada kenyataannya hutan semua.

Dia mengernyit. "Itu pas masuk gerbang yang kaya kerajaan, yang di tengah lapangan gede."

Aku bergegas istigfar. Karena yang aku lihat bukan villa seperti apa yang suami lihat. "Itu gubuk reot, Yah. Butut banget malah. Ngaco disebut villa," kataku bersikukuh dengan kejadian sebenarnya.

"Ngaco. Itu villa, ayah balik lagi karena di atas ada orang lagi diem pake jubah item. Ayah pikir itu securiti."

"Ayah yang ngaco, orang yang pake jubah item itu ngelihatin kita di pos." Aku mulai menaikan nada bicara. Lucu memang.

Dia berdecak sembari membuang wajah. "Kagak ada Pos di sana. Pos apaan sih, Bu."

Aku terdiam sejenak, karena jika diteruskan pasti tidak akan ada akhirnya. Ini sangat aneh, bagaimana bisa semua yang tampak di mata kami berbeda.

"Paling merinding itu pas masuk gerbang yang udah tua dan reot. Kaya ada di mana gitu."

"Istigfar, Bu. Gerbang di mana, ah. Mimpi kayanya. Orang kita cuma nemuin gerbang yang kaya kerajaan itu."

Hah? Aku semakin tidak mengerti maksud dari perkataan sang suami. Aku yang mimpi apa dia yang mimpi?

"Kan, tadi Ayah tanya, masuk gak ke situ?" Aku kembali menegang, karena apa yang aku lihat adalah benar.

"Mimpi, nih! Kan Ayah yang jadi sopir. Paling serem itu pas balikin motor. Ayah, kan, sempet istigfar, tuh. Tau gak ada apa?"

"Apa?" tanyaku penasaran.

"Ada suara yang ketawa. Hi-hi-hi. Cuma gak mau bilang, takutnya malah pada ketakutan." Ia terkekeh pelan.

Sempat-sempatnya dia menertawakan kejadian itu. Kami terus berdebat tentang jalan yang kami lewati. Apa yang aku lihat, tidak dilihatnya. Begitu pun sebaliknya. Semua masih jadi rahasia sampai sekarang.

Setelah itu, aku bercerita pada teman dan keluarga besar. Jawaban mereka sama, "Makanya, jangan keluar magrib!"
*****

0 komentar:

Posting Komentar

 

Diary of Queen Gietha Copyright © 2011 Girl Music is Designed by Ipietoon Sponsored by web hosting