Camellia Flower's (赤い椿) - FanFict Sesshomaru Rin




credit by : zephyrus 123

https://m.fanfiction.net/s/11077446/1/%E8%B5%A4%E3%81%84%E6%A4%BF


Lemari kecil Rin tidak lagi mampu menampung kimono yang entah sejak kapan telah tergeletak di kamarnya. Kimono kali ini didominasi warna merah dengan motif bunga kamelia. Obi putih polos terlipat rapi di atasnya. Jemari Rin menangkap perbedaan pada pakaian itu, terasa lebih halus dan lembut, tidak seperti biasanya. Bertahun-tahun kemudian, barulah ia tahu bahwa kimono-nya dipilin dari sutra asli.
Sudah sekian kimono yang diberikan Sesshoumaru, namun ia tidak pernah sekalipun bertemu dengannya. Kedatangan Sesshoumaru tidak pernah pasti. Hanya hadiahlah yang menyatakan bahwa daiyoukai itu baik-baik saja dan terus mengembara.
Kimono barunya ia rengkuh ke dada, seberkas kehangatan dari tangan tuannya masih berkilas. Rin memandang jauh ke arah jendela yang terbuka. Tidak ada Sesshoumaru di sana. Ia ingin bercerita, sama panjangnya dengan penantiannya. Ada emosi lain yang cukup baru baginya. Bermunculan begitu saja ketika ia membuka mata pertama kali pada usia yang ketujuh belas tahun, beberapa bulan setelah kimono kamelia diberikan. Satu per satu datang tanpa ia mengerti. Semakin berat dan berat, hingga tidak mampu lagi tertahankan. Dalam tiga tahun kemudian, matang sudah emosinya. Ia pun keluar dari cangkang, berubah menjadi wanita dewasa yang terus berdoa untuk Sesshoumaru.
Sejak ditinggal Sesshoumaru di desa, ia hanya menangis sekali. Baginya Nenek Kaede sama berharganya dan hanya ialah yang dengan setia menerjemahkan setiap perasaan elusif Rin. Sayangnya, neneknya telah berangkat dengan membawa segala kebahagiaan Rin yang tidak pernah sempurna lagi.
Ia begitu terluka. Namun Sesshoumaru tidak pernah lagi datang menolongnya, sejak kimono kamelia ia terima, tiga tahun lalu.

"Rin, aku membawakan tanaman herbal untukmu."

Rin tersentak dari lamunan kosongnya sebelum kemudian melipat kembali kimono berharganya. Kohaku telah berdiri diambang pintu dengan sebuah anyaman keranjang di tangannya, segaris senyuman memintal. Kirara memanjat naik hingga ke bahu tuannya.
Rin tidak pernah mengingat pernah menyuruh pemuda itu mencarikan sesuatu untuknya. Namun ia cukup sadar bahwa apa yang dilakukan Kohaku datang dari kehendaknya sendiri.

"Terima kasih, Kohaku."

Sejak mendengar kabar Nenek Kaede telah meninggal tiga bulan lalu, Kohaku segera memutar haluan Kirara. Meluncur secepat angin hingga ia tidak mungkin melewatkan prosesi pemakaman. Itulah untuk pertama kalinya ia melihat Rin menangis kencang hingga rasanya begitu menusuk hatinya. Setelahnya, ia menjadi sering pulang ke desa untuk menghampiri Rin setidaknya seminggu sekali.
Kedatangan Kohaku selalu diikuti dengan tanaman herbal, dan ia sering mendapati Rin sedang memeluk kimono merah, dalam kesendirian yang menyesakkan. Ia tahu pakaian itu datang dari Sesshoumaru, Nenek Kaede pernah bercerita.

"Kau semakin pucat. Apa kau yakin masih baik-baik saja?"

Rin bangkit dari duduknya. "Mungkin wajahku memang pucat, tapi percayalah, aku baik-baik saja." Ia mencoba tersenyum.
Kohaku bukan anak kecil lagi yang dapat dibohongi dan dikendalikan. Ia pun sama dewasanya dengan Rin. Namun dengan kedewasaannya, ia tetap tidak dapat mengisi sudut kosong di hati gadis itu.
Perasaannya telah ditolak tiga kali, namun inisiatifnya terus mengunjungi Rin melebihi keegoisannya untuk memiliki gadis itu. Keberadaan Rin lebih berharga daripada hatinya yang terus tertikam. Untuk saat ini dan seterusnya, ia tidak ingin gadis itu bersedih, meskipun ia tahu kehadirannya tetap tidak dapat menggeser sedikit pun posisi Sesshoumaru.
Kohaku bergerak mendekat setelah meletakkan keranjangnya di meja. Rin terkesiap ketika kedua telapak tangan kokohnya terpaku pada bahu ringkihnya.

"Aku tidak memintamu untuk melupakan Sesshoumaru, tapi aku tidak suka melihatmu begini." Rin yakin ia tidak dapat menatap mata Kohaku lebih lama lagi, namun kalimat pemuda itu tetap menahannya. "Aku tidak masalah kalau kau masih menginginkan Sesshoumaru, kau tidak perlu membuka hatimu untukku, aku hanya ingin kau tidak lebih buruk dari keadaan buruk apa pun. Kau harus kembali seperti dulu, pada Rin yang seharusnya!"

Kohaku mengingatkannya pada dasar danau di pegunungan yang dapat terlihat dari permukaan air, begitu jernih dan tulus, tidak ada yang cacat dari perasaannya. Seharusnya Rin bisa membukakan sedikit saja hatinya untuk Kohaku.
Rin ingin kembali kepada dunianya yang gelap, pada dirinya yang bisu; pada apa pun yang membuatnya tidak pernah mengenali Sesshoumaru.

"Jika aku menerimamu, kau akan kecewa melebihi kekecewaanmu pada penolakanku."

"Selagi kau tidak apa-apa, aku dapat menerima kekecewaan seberat apa pun."

Sungguh, ia bersedih pada hati Kohaku yang dapat begitu tulus dan polos. Rin pun tidak dapat membalas dengan kata lain selain, "Maaf."


***

Mengawasi dari sebongkah pohon tinggi, Kohaku selalu menemukan Rin memandang jauh pada cakrawala, melamun bersama sejumput tanaman herbal di tangannya yang kaku. Matanya tidak memancarkan kehidupan, hanya berpaku pada satu titik hingga waktu yang lama. Rin sempurna telah kehilangan kebahagian berharga yang tersisa. Dan sekarang, pikirannya terus mengembara pada Sesshoumaru yang entah di mana.
Dalam perjalanan pergi dan pulangnya, Kohaku selalu bertanya tentang Sesshoumaru pada siapa pun yang ia temui. Jawaban yang diberikan tidak begitu membantunya. Daiyoukai itu tidak meninggalkan jejak, ia hidup bersama bisikan angin dan lenyap dalam keheningan.
Dan Kohaku bersumpah tidak akan pernah melupakan hari ini, bahkan ketika umur rentanya nanti memakan semua ingatannya. Sesshoumaru muncul dari arah belakang Rin. Gesekan lembut rumput yang dihasilkan tidak juga membangunkan Rin dari dunia hampanya. Di saat yang sama, pemuda itu tidak dapat memilah rasa senang dan sedih. Keduanya bercampur hingga menjadi satu rasa yang begitu elusif.
Sesshoumaru berhenti bersama rerumputan yang juga termangu dari gerakan menampar-nampar ujung pakaiannya. Ia memandang dari jarak sepuluh meter atas figur Rin yang jauh berubah. Gadis itu telah matang, dan untuk pertama kalinya daiyoukai itu ragu untuk kembali memajukan langkahnya.
Ia lantas berpaling pada keranjang setengah penuh yang tergeletak tidak begitu jauh darinya. Dengan gerakan tanpa ekspresi, ia mengeluarkan bunga kamelia merah yang ia petik saat di perjalanan lalu menatap jauh pada Rin.
Kimono terakhir yang ia berikan, tanpa siapa pun tahu, telah membuatnya tergeming cukup lama. Sesshoumaru dapat merasakan bahwa anak itu terus tumbuh tanpa dapat semesta kendalikan. Dan tanpa dapat dikendalikan pula, ia merasakan denyutan ganjil pada hatinya. Semakin lama semakin membuat pikirannya lumpuh.
Setelahnya, ia mencoba untuk menghindar, berharap apa yang dirasakannya dapat dikikis oleh waktu. Namun sebelum ia benar-benar mengembara lebih jauh, ia sadar tidak dapat melakukannya; Rin telah mengambil sebagian hatinya.
Sesshoumaru menarik kembali tangannya ketika akan meletakkan bunga itu di keranjang. Ia lagi-lagi ragu atas tindakannya. Ia cukup sadar untuk membuat Rin dapat berkehidupan sebagaimana manusia normal seharusnya.

***

Seperti ada suara familier yang mendesahkan namanya, Rin segera memalingkan wajahnya. Rambut hitam panjangnya meliuk sigap bersama antusiasme yang sempat membumbung sebelum kembali padam bersama dengan rasa kecewanya.
Tidak ada siapa pun di belakangnya. Keranjang yang ia letakkan masih tetap tergeletak di tempat yang sama.
Rin menggelengkan kepalanya dengan lemah, wajahnya semakin terlihat memucat. Tidak mungkin Tuan Sesshoumaru, Rin mendesah.

Ia pun semakin terpuruk.

***

Hari mengejar minggu, minggu mengejar bulan, dan bulan pun telah berada di gerbang musim gugur. Bukan sekali Kohaku datang padanya, mengatakan bahwa ia melihat Sesshoumaru.
Awalnya semangat Rin muncul. Ia kembali percaya bahwa apa yang dirasakannya berbulan-bulan lalu memang benar. Tapi seiring waktu berputar, ia dapat melihat kekosongan dalam setiap kepercayaannya. Dan kembali terpuruk pada perputaran yang sama.
Kohaku pun peka untuk tidak lagi membahas Sesshoumaru. Apa yang dibutuhkan Rin sekarang bukan hanya sekadar cerita belaka. Ia benar-benar membutuhkan kehadiran nyata daiyoukai itu, tepat di depan matanya yang mulai meredup.

Malam itu cukup dingin bagi penduduk desa. Jendela-jendela ditutup lebih cepat dari sebelumnya. Aroma arang pun kentara menguar pada udara malam yang melayang membisikkan rasa dingin.

Rin membuka lemari ditemani sebatang lilin yang hampir habis sumbunya. Diraihnya kimono kamelia yang belum pernah ia kenakan sama sekali. Berbinar takjub pada keindahan pakaian di depannya, Rin perlahan mulai memasangkannya pada tubuh. Seandainya ia punya cermin, ia tidak akan percaya dapat mengenakan kimono semahal itu.

Dengan cahaya lilin yang mulai meredup, ia kuatkan tungkainya untuk melangkah menyusuri pohon-pohon tua penuh rahasia. Kakinya yang langsung mencumbui bumi tidak ia hiraukan terluka. Rasanya hanya kebas, kebas, dan kebas. Sebentar lagi hatinya akan menyusul.
Ketika Rin tiba di sebuah tebing, lilinnya telah padam. Tebing itu sangat tinggi hingga jutaan konstelasi cahaya yang saling bertalian mengejar batas nadir di atasnya pun tidak mampu menembus pekatnya kehampaan gelap.
Tangannya bergerak lemah memeluk tubuh, memeluk kimono merah menyalanya. Memang sudah bertahun-tahun, namun ia masih dapat merasakan sentuhan yang Sesshoumaru tinggalkan pada pakaiannya. Biarlah untuk malam ini, Rin merasa berpuas hanya dengan sentuhan yang coba diciptakan oleh sudut imajinernya.

Dengan mata terpejam, kakinya berlari, lalu menapak vakum. Dan hening—

***


Entah apa yang membuat daya imajinernya mampu bertahan bahkan setelah ia manyatakan dirinya telah berada di dunia sana. Ia dapat merasakan sesuatu yang hangat memeluk dirinya dengan nyata. Bahkan aroma yang menari pun tidak lagi datang dari asap-asap hangat rumah penduduk, melainkan dari aroma nostalgia yang membangkitkan kembali memori-memori lalunya.

Ketika ia membuka mata, hal pertama yang ia lihat adalah jutaan cahaya bintang yang membelai wajah pucatnya. Sebelum ia sadar yang memeluknya adalah sosok yang membuat hatinya mengembara tanpa tujuan, Sesshoumaru.

"Kau hampir mati."

Kalimat itu masih diucapkan dengan nada dingin. Rin berani bersumpah bahwa ia belum pergi menemui Nenek Kaede. Lantas ia merengkuh erat leher tuannya, dan Sesshoumaru pun masih terbang dengan memeluk sebagian hatinya.

Dalam diam, Rin tidak lagi memandang hampa pada langit polos. Sesshoumaru telah mengantarkannya pada bintang-bintang yang tidak pernah berkedip seindah sekarang. Kisah panjang penantian yang ingin ia ceritakan, satu per satu menyabur dan melebur dalam satu kalimat: "Aku merindukanmu, Tuan Sesshoumaru."

***

Mereka mendarat di tepian desa. Jaken tidak banyak berubah dari terakhir kali mereka bertemu, masih tetap angkuh terhadapnya. Sedangkan A-Un tampak senang ketika Rin memeluk masing-masing leher mereka. Perintah Sesshoumaru membuat Jaken pergi bersama A-Un. Aku akan menyusul, itu yang dikatakan selanjutnya.

Namun Rin tidak mau melepasnya begitu saja. Tidak, setelah ia harus tersiksa dengan penantiannya.

"Kau harus hidup bersama manusia."

"Aku sudah hidup bersama mereka bertahun-tahun lamanya."

"Lebih lama lagi."

"Tapi aku merasa duniaku bukan di sini, Tuan…." Rin menggigit bibirnya, terlalu pahit untuk diucapkan.

Sesshoumaru tidak menjawab. Dari cahaya api unggun yang sudah dinyalakan Jaken sejak awal, membuat daiyoukai itu dapat melihat Rin secara utuh dan jelas. Seluruh kulitnya memucat, hampir menyamai dirinya. Rambut hitam panjang terurai tidak lagi masai seperti sebelumnya. Iris kecokelatannya menampilkan binar kesedihan dan kebahagiaan yang pernah terlupa. Lalu pada kimono kamelia pemberiannya, terlihat begitu padu dengan keindahan Rin yang sempat terselubung.

Di balik wajahnya yang tidak beriak, Sesshoumaru menyimpan ketakutan dan kesedihan terpendam. Gadis itu baru saja akan mengakhiri hidupnya, ia takut jika itu benar-benar terjadi, dan ia akan bersedih sepanjang masanya. Ibunya bilang, itulah cinta. Walaupun ia ingin menampiknya, namun kalimat itu terus menggantung di hati. Cinta yang bagi Sesshoumaru hanya dapat ia ungkapkan melalui kimono bermotif bunga kamelia merah.

Rin menautkan jemarinya pada jemari tajam Sesshoumaru. "Aku ingin terus bersama Tuan Sesshoumaru. Aku mohon jangan tinggalkan aku sendiri—lagi."

Sesshoumaru masih geming. Rin masih menggumamkan kalimat yang sama, berulang-ulang hingga burung yang tertidur pun dapat merekam kalimatnya.

Sampai malam kian larut, Sesshoumaru memutuskan untuk bermalam dengan naungan pohon rindang tua di atasnya. Rin belum berhenti menyelesaikan kalimatnya. Namun tidak mengapa baginya.

Rin duduk di atas pangkuannya. Sesshoumaru merengkuhnya dekat di dada, menunggu gadis itu terbuai oleh rasa kantuknya sendiri. Dan ketika suasana menjadi hening, ia sadar gadis dalam pelukannya telah memasuki alam mimpi.
Perlu waktu hampir sejam lamanya sebelum Sesshoumaru memberanikan diri mencium kening gadis yang sudah dalam terlelap. Suara napasnya yang damai membuat daiyoukai itu tidak ragu mencumbui pelan bibir gadis itu. Berkali-kali.
Ia ingin memilikinya, ingin menandai dirinya bahwa Rin adalah miliknya. Namun Rin berhak memiliki dunia yang seharusnya manusia miliki.
Sesshoumaru bangkit, menarik napas dalam sebelum menggendong Rin pada punggungnya. Kakinya ia bawa berjalan menuju cahaya temaram yang terakumulasi di desa.

Di setiap langkahnya, Sesshoumaru bertanya pada dirinya, apakah yang dilakukannya memang baik untuk Rin. Namun di saat yang sama, pikirannya mengatarkan jawaban bahwa Rin harus hidup bersama manusia.

Sesshoumaru sendiri masih tetap membenci manusia. Rasa tidak sukanya ini seharusnya tidak berkurang sedikit pun sejak ia tahu ayahnya lebih memilih manusia. Dan kini, ia merasa dikutuk atas rasa bencinya sendiri, bermain dengan api yang selama ini ia coba hindari.

Barulah sekarang ia mengerti, manusia mengajarkannya menggunakan hati yang tidak pernah terpakai; memberinya rasa bahagia yang tidak pernah ia dapatkan ketika berhasil membunuh siluman terkuat; dan memberinya rumah untuk kembali. Rin menyediakan segalanya yang tidak pernah ia miliki.

Langkahnya berhenti ketika mendapati seorang pemuda telah berdiri di depannya. Kohaku. Kali ini tanpa Kirara.

"Jangan halangi jalanku," Sesshoumaru bergumam penuh penekanan.

"Rumahnya bukan di sini."

Sesshoumaru tidak merespons.

"Kau tidak bisa mengikatnya di sini. Itu akan terus menyiksanya."

"Bukankah kau mencintai anak ini?"

"Memang, aku mencintainya, tapi aku bukan orang yang tega menyiksanya, juga bukan orang yang bisa menolongnya.

"Seharusnya dari awal aku sudah tahu, Rin memberikan nyawanya untukmu. Karena itulah dia, sejak kau menghilang, seperti kehilangan separuh nyawanya. Dan aku yakin, tiga-empat tahun bukan waktu yang singkat untuk melupakan seseorang. Tapi nyatanya kau gagal melupakannya, maka dari itu kau datang ke sini, mengawasinya dari kejauhan."

Sesshoumaru menatap tajam mata Kohaku. Pemuda itu berhasil menerjemahkan tindakan yang bagi dirinya sendiri pun sulit ia mengerti.

"Semakin kau membohongi dirimu, semakin terluka Rin. Aku mohon, bawalah dia bersamamu."

Setelah menyelesaikan kalimatnya, Kohaku pergi dengan membawa serta lukanya. Tapi baginya waktu akan membuatnya terbiasa. Rin diciptakan untuk mengubah seseorang, bukan dirinya, namun Sesshoumaru.

Sesshoumaru memandang pada tautan bintang yang mulai menyabur, menghilang satu per satu oleh perputaran bumi. Rin masih tertidur nyaman di punggungnya.

Bukan hal yang mudah merelakan seseorang. Sesshoumaru tahu Kohaku kuat. Dan ia tidak ingin mengecewakan harapan pemuda itu.

Untuk kali ini saja, ia ingin percaya pada manusia.


***

1 komentar:

Unknown mengatakan...

suka

Posting Komentar

 

Diary of Queen Gietha Copyright © 2011 Girl Music is Designed by Ipietoon Sponsored by web hosting